Secuil Cerita tentang Sebuah Kota Bernama Sorong

wajah-wajah lelah tapi bahagia


Bandara Internasional Domine Eduard Osok Sorong

Sorong merupakan kota industri yang berada dekat dengan laut. Penampakannya tak jauh berbeda dengan kota-kota lain di Jawa, namun tak semoderen Sidoarjo yang juga menyandang status sebagai kota industri. Sepanjang perjalanan setelah keluar dari bandara, saya sibuk menangkap semua yang ada dibalik jendela mobil. Angkot, manusia berkulit hitam, dan gigi merah adalah sebagian ciri khas yang melekat pada tanah Papua.

“Bapak asli Sorong, kah?” Tanya saya mengawali percakapan dengan bapak sopir yang membawa kami menuju hotel.

“Tidak, mbak. Saya datang dari Sulawesi tapi sudah lama di Sorong.” Jawab bapak itu yang saya lupa namanya.

“Oh, pantesan Bapak berbeda dengan kebanyakan orang sini.”

Sekilas memang mudah sekali menentukan apakah orang tersebut berasal dari Sorong atau bukan. Kulit memang sama hitam dan gigi sama-sama berwarna merah karena mengunyah sirih pinang, namun dari rambut dan logat berbicara kita bisa membedakan apakah dia orang Sorong atau pendatang.

Sebagai kota terbesar di Provinsi Papua Barat sekaligus kota kedua terbesar di Papua setelah Jayapura, Sorong menjadi tempat perantauan banyak orang dari berbagai wilayah di Indonesia, khususnya dari Sulawesi karena letaknya yang dekat. Sorong juga disebut sebagai kota Minyak, di mana Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) telah melakukan aktivitas pengeboran minyak bumi sejak 1935.

Sorong adalah gambaran kecil dari kayanya surga Indonesia, Papua. 

Strategis secara letak geografis, dikelilingi perairan yang kaya biota laut sekaligus menjadi pintu perdagangan nasional maupun internasional. Belum lagi flora dan faunanya, sarangnya tumbuhan dan hewan langka Indonesia, serta minyak bumi yang menjadi rebutan sejak dahulu kala.

 

Perbedaan agama

Menurut Wikipedia, jumlah penduduk kristiani di sini lebih besar 9% dengan perbandingan Kristiani (Katolik dan Protestan) 54% dan Muslim sebesar 45%, serta agama Hindu dan Budha sebesar 1%. Setahu saya, pemeluk kristiani memang menjadi mayoritas di sini dan mereka memiliki gereja yang besar dan bagus seperti gereja-gereja di Eropa. Takjub! Di jalan saya temui juga beberapa perempuan yang memakai kerudung, lalu tak lama saya juga menemukan masjid yang bahkan mengeluarkan suara adzan. Jujur, untuk saya yang biasa tinggal di Bali yang jauh dari suara adzan, mendengar suara adzan di sini saat muslim bukan mayoritas adalah luar biasa rasanya.

Kedua umat ini hidup berdampingan dan damai. Masjid dan gereja berdiri berdampingan dengan suara adzan dan lonceng gereja yang bergantian bersuara. Kebetulan saya datang di akhir Desember 2021 menjelang natal. Tentu, natal adalah perayaan besar bagi umat kristiani dan itu saya rasakan di sini. Semua bersuka cita, terbukti dengan adanya beberapa patung atau pernak-pernik di depan banyak rumah warga.

 

Rumah apung

Bangunan rumah di sini kebanyakan sudah permanen, meski banyak juga yang masih berupa papan kayu sebagai dindingnya. Di tengah kota rumah warga berdiri berhimpitan seperti banyak kota di Indonesia, namun di desa masih banyak rumah warga yang memiliki halaman luas dan berjarak antara satu rumah ke rumah yang lain. Hutan pun masih banyak ditemui di antara rumah-rumah warga.

Berbeda dengan rumah apung. Rumah-rumah ini terapung di atas perairan lepas dengan jembatan sebagai penghubung masing-masing rumahnya. Awalnya kami hanya melihat dari kaca mobil sambil “wow!” hingga bapak sopir menawarkan kami untuk turun dan melihat langsung ke dalam perkampungan apung ini. Sayangnya saya lupa lokasinya berada di kecamatan apa. Ini hal yang jarang bahkan baru pertama kami temui secara langsung. Sekelompok anak kecil menyambut kami dengan tertawa, ada pula yang malu-malu menampakkan muka. Seperti rumah pada umumnya, di dalamnya terdapat kursi, meja, bahkan TV. Ada pula ayunan dari sarung yang digunakan untuk mengayun bayi. Mencengangkannya lagi, ada sepeda motor yang diparkir di teras rumah. Kami bertanya-tanya bagaimana mereka bisa mengendarai motor di atas jembatan yang lebarnya tak kurang dari satu meter ini. Hanya papan yang disusun rapat tanpa pegangan di atasnya. Merinding!

Kami berjalan menyusuri jembatan yang menghubungkan rumah-rumah ini. Mereka-para ibu-ada yang sedang menggendong anak, ada yang sedang makan, ada pula yang sedang petan dalam Bahasa Jawa berarti mengambil kutu rambut. Mereka semua ramah dan tersenyum kepada kami. Pun anak-anaknya. Semua bahagia menyambut kami mempersilakan kami masuk dan melihat-lihat. Menurut prasangka saya, mungkin mereka telah biasa kedatangan tamu sebelum pandemi, sehingga ketika pandemi dan wisatawan datang mereka teramat bahagia. Tentu kami menyempatkan ngobrol sejenak dan berfoto bersama.

Karena tinggal di pesisir, perahu menjadi alat transportasi penting di sini. Perahu tersebut juga terparkir di halaman rumah dengan beralaskan papan kayu. Pertanyaan saya masih sama, bagaimanakah mereka manaik-turunkan perahu itu?

 


perahu diparkir di depan rumah

ibu dan anak bersantai di bagian belakang rumah


mereka tersenyum ramah menyambut kami

Gigi merah akibat sirih pinang

Saya kira sudah banyak yang tahu tentang sirih pinang sebagai tradisi masyarakat Papua. Namun karena saya terlanjur antusias biarlah saya tetap cerita soal ini.

Perjumpaan pertama kami dengan sirih pinang ini adalah ketika kami melihat sepasang ibu dan anak yang sedang menyirih pinang di pinggir jalan.

“Itu sirih pinang, biasa orang sini mengunyah itu.” Kata Pak Sopir sigap.

“Biar apa, ya, Pak?” Tanya saya penasaran.

“Bikin gigi dan gusi kuat.”

“Berarti sudah tidak usah gosok gigi, ya, Pak?”

“Masih. Tapi juga mengunyah sirih pinang itu.”

Saya masih tak paham waktu itu. Saya kira sirih pinang adalah pengganti gosok gigi yang bikin gigi bersih sekaligus bikin gigi kuat. Ternyata salah. Menggosok gigi tetap merupakan kewajiban, meski orang terdahulu tidak menggunkan pasta gigi melainkan tumbuhan khusus yang tak berbusa. Nah, di waktu senggang mereka mengunyah buah pinang bersama buah sirih yang bentuknya memanjang seukuran jari yang dicocol kapur (kulit kerang yang dihaluskan) sehingga menghasilkan warna merah. Nanti saya akan cerita pengalaman mengunyah pinang ketika kami berkunjung ke Kampung Yenbuba. Yang jelas, kebiasaan ini adalah tradisi yang masih lestari hingga sekarang. Anak kecil juga telah biasa mengunyah sirih pinang. Ternyata setelah saya cek di internet, sirih pinang ini banyak manfaatnya, loh. Selain menguatkan gusi dan gigi, ia juga bermanfaat sebagai antibakteri, antiinflamasi, antialergi, bahkan antikanker.

Mengunyah sirih pinang bagi mereka sama halnya seperti minum air. Kapanpun dan di manapun kalau mereka sedang mau ya langsung mengunyah. Mereka biasa menyimpan buah pinang dan sirih di dalam kantong plastik kecil dan kapur di dalam botol kecil bekas lalu dimasukkan ke tas kecil yang selalu mereka bawa ke mana-mana. Pernah suatu kali saat kami perjalanan ke Raja Ampat, di atas kapal Bapak Jo (nama samaran karena saya lupa namanya, hehe) tengah asik merokok. Lalu setelah batang rokoknya hampir habis terisap, ia mengeluarkan sepaket kecil sirih pinang yang disimpannya dalam tas kecil tadi. Seperti tak peduli di atas lautan yang bergelombang, beliau asik saja mengunyah sirih pinang. Giginya mulai kemerahan dan tersenyum saat pandangan kami berpapasan. Bapak Jo ini pemilik penginapan serta kapal yang kami tumpangi. Beliau hanya memimpin perjalanan sedangkan yang mengemudi adalah anak-anaknya.

Satu pengetahuan baru lagi bagi saya, bahwa meski sirih pinang ini diklaim menguatkan gusi dan gigi, bapak-bapak di sini sama halnya dengan bapak-bapak di luar sana yang suka merokok. Ketika seseorang menyirih pinang bukan berarti dia berhenti mengunyah permen, merokok, atau mengonsumsi yang tidak sehat. 

Mereka tetap manusia yang sama, namun konsisten terhadap budaya yang dijunjungnya.
buah pinang, sirih, dan kapur (serbuk kulit kerang) yang dijual di Kampung Yenbuba


baca juga: Perjalanan Raja Ampat - Part 1

Flora dan fauna

Burung kasuari, cenderawasih, dan kakatua adalah sebagian kecil dari fauna asli Papua. Dengan masih banyaknya jumlah hutan di sana, burung-burung ini akan sering kita temui tiba-tiba dengan suaranya yang khas. Sungguh, ini pengalaman mahal yang saya sendiri tak berhenti-berhentinya takjub saat menyaksikan mereka terbang melewati kepala saya. Serasa ada di kebun binatang!  

Tak hanya di daratan, di lautan juga banyak kita temui sekelompok burung terbang bersamaan membentuk lingkaran. Saya jadi teringat momen di mana kami menyebrangi lautan dari Waisai menuju Pulau Kri, beberapa kali kami jumpai kelompok-kelompok burung ini terbang di atas perairan dangkal. Dari kejauhan mereka seperti angina torpedo. Bisa membayangkannya, kan?

“Mereka mau nangkep ikan.” Kata Mas Rangga, pemandu wisata kami yang berpenampilan backpacker.

Speedboat yang kami tumpangi berjalan melambat agar kami bisa melihat dengan dekat dan jelas. Sepanjang perjalanan beberapa kali kami temui sandbank yang di atasnya berkeliaran burung-burung.

Kekayaan flora juga kami saksikan langsung saat bertandang ke Taman Wisata Alam Sorong. Lokasinya tak jauh dari pusat kota, cocok untuk menghabiskan waktu saat sedang tidak ingin berbasah-basah di pantai. Di sini ada Pohon Merbau, Damar Papua, dan banyak lagi lainnya yang terancam punah. Di TWA Sorong ini juga kami menjumpai seekor kadal dengan ekor panjang dan berwarna keunguan. Cantik sekali! Ia melompat-lompat di antara batang pohon yang tergeletak di atas tanah. Ada juga kupu-kupu besar yang terbang mengelilingi kami seolah menyapa selamat datang. Ukurannya 2-3 kali lebih besar dari yang biasa kita jumpai. Warnanya juga berbeda, lebih kontras dan terang. Di dalam hutan yang cenderung gelap, hewan-hewan unik nan indah ini berlarian seperti dalam film Peterpan. Ah andai memang sungguhan dibikin film!

Sayangnya keberadaan TWA Sorong tak begitu terurus akibat pandemi. Sama sekali tidak ada petugas yang berjaga, di beberapa tempat banyak sampah berserakan. Ada juga sebuah bangunan seperti kantor, saya rasa tempat informasi, juga terkunci rapat.







sebuah kantor tanpa penjaga

Tak berhenti di situ, Pak Sopir membawa kami ke Wisata Taman Burung di daerah Aimas. Namanya memang taman burung, tapi hewan di dalamnya lebih banyak tak hanya burung. Semuanya hewan asli Papua dan terbilang langka. Kami bahkan menemukan elang berukuran besar di dalam kandang, beragam jenis monyet, dan hewan besar lainnya. Yang bikin hati teriris adalah mereka semua berada di dalam kendang berukuran sempit dengan makanan yang kondisinya kering. Kami mengira mereka semua hanya beberapa kali diberi makan dalam seminggu. Parahnya monyet-monyet ini agresif mungkin tanda lapar dan mengira kami akan memberi makan. Kondisi kandang juga sangat memprihatinkan, kotor.

“Yah, beginilah kondisinya, pandemi. Tidak ada yang berkunjung.” Kata salah seorang petugas yang juga tinggal di sana. Ada 2 petugas yang kami temui.

“Dari pemerintah sendiri gimana, Pak? Tidak ada bantuan?” Tanya saya penasaran.

“Ada, waktu kemaren. Tapi sudah habis, mereka ini kan makannya terus, ya. Jadi terpaksa ada beberapa yang dijual.”

Hah! Dijual, Pak? Sayang banget. Ini, kan, langka.” Hati ingin menangis saat tau fakta sesungguhnya tentang hewan-hewan langka ini. Saya membayangkan saat mereka dijual, kalau dijual ke orang yang sungguh-sungguh sayang binatang mungkin masih oke, tapi kalau dijual ke sembarang orang?


Ah tak tau lagi. Mau bilang mending dilepas aja ke habitatnya juga saya tak punya hak. Semoga dengan berakhirnya pandemi, semua satwa ini menjadi lebih baik kondisinya.

Begitulah kira-kira cerita perjumpaan kami dengan para penghuni tanah Papua di Sorong. Banyak hal yang membuat pikiran kami terbuka. Kota ini adalah awal perkenalan dari perjalanan kami di tanah Papua.


Baca selanjutnya: Di Waisai, Perjalanan Baru Dimulai

Kommentare