Di Waisai, Perjalanan Baru Dimulai

sunrise di dermaga pantai waiwo

Papua Barat punya banyak sekali pulau kecil maupun besar, baik yang sudah berpenghuni maupun belum. Hal ini baru saya tahu ketika kaki telah menapak Waisai. Waisai sendiri adalah ibukota Kabupaten Raja Ampat. Jadi yang selama ini mengira Raja Ampat adalah nama destinasi (seperti saya dulu), salah ya. Raja Ampat adalah sebuah kabupaten yang memiliki beberapa kecamatan dan tersebar di berbagai pulau di sekitarnya. Nah, karena jalur masuk Raja Ampat ini adalah melalui Waisai, jadi kita bahas soal kota ini dulu, ya.

Kota Waisai merupakan ibukota dan pusat pemerintahan Raja Ampat. Kota Waisai ada di pulau Waigeo. Jadi kota ini terbilang sudah cukup maju. Pasar, rumah sakit, sekolah, transportasi darat, bangunan, semua sudah terbilang lengkap. Hanya saja provider masih Telkomsel yang bagus jaringannya. Karena saya pakai Indosat, setelah sampai di pelabuhan otomatis hilang sinyal seketika. Welcome to my paradise….. kalo kata Steven & Coconuttreez.


Sorong - Waisai dengan kapal

Dari Pelabuhan Sorong, kami harus menumpang kapal menuju ke Waisai. Kapal ini beroperasi setiap hari dengan jadwal tertentu. Kalau tidak salah harganya tidak sampai seratus ribu untuk tiket VIP. Ada 2 jenis tiket, yaitu VIP dan ekonomi. VIP jelas tempat duduknya lebih bersih dan nyaman, biasanya ada di lantai 2 kapal. Sedangkan untuk tiket ekonomi, penumpang harus duduk berdesak-desakan di lantai 1. Di kapal ini juga tersedia kantin, meski makanannya terbatas. Kapal ini menjadi satu-satunya alat transportasi Sorong-Waisai PP, jadi jangan heran kalau ada banyak sekali manusia berjejalan. Ini sudah lebih berkurang karena pandemi, bisa dibayangkan betapa penuhnya kalau sebelum pandemi dan musim liburan. Pembelian tiket bisa langsung di pelabuhan atau melalui tour guide jika ingin lebih praktis. Sebelum sampai di Waisai, kami juga sempat menghabiskan waktu di Sorong.


situasi di sekitar pelabuhan di Sorong

Bertemu (sssttt…) intel!

Sorong-Waisai kami tempuh sekitar satu jam. Pemandangan laut yang disuguhkan oleh alam Papua ini teramat indah. Kami melewati beberapa pulau kecil yang tak berpenghuni. Ah, saya tak tega membiarkan mata ini tertutup barang hanya sedetik.

“Darimana, Mbak?” Tanya seorang bapak yang berpakaian sederhana.

“Dari Bali, Pak.” Jawab saya singkat.

“Aslinya dari Bali juga?” Mungkin si bapak heran karena melihat saya berkerudung.

“Oh, bukan, Pak. Aslinya Surabaya, sih. Jombang, lebih tepatnya.”

“Oalah, wong Jowo. Aku tekan Malang, kok, Mbak.

Ternyata jauh-jauh sampai Papua bertemunya orang Jawa juga. Selain bapak tadi, ada pula sepasang suami istri yang masih muda serta seorang anak kecil. Mereka dari Surabaya juga.

“Kerja, Pak, di sini?” Sebut saja namanya Pak Adi. Saya membuka percakapan lagi.

“Jalan-jalan, Mbak. Aku ini udah keliling Papua, udah keliling Indonesia.”

“Wih enake, Pak. Tour guide, ya, Pak?” Saya mulai kepo.

“Hehe, wes pokoke kerjaan saya itu keliling Papua.” Sambil bercerita destinasi mana saja yang telah ia kunjungi. Mas-mas di depan kami pun ikutan nimbrung. Rupanya ia juga penasaran tentang pekerjaan si bapak. Kami telah menyebutkan banyak jenis pekerjaan namun tak ada yang benar.

“Hmm saya tahu, bapak seorang intel, ya?” Saya asal njeplak saja karena kesal tak segera diberitahunya pekerjaannya namun ia banyak bercerita soal pulau-pulau terluar Indonesia.

“Ssssssttttt!!!! Jangan keras-keras!” Katanya sambil membelalakkan mata. Kami sama-sama kaget lalu tersenyum seakan ada misi rahasia yang hanya kami berdua yang tahu. Karena saya sudah paham, akhirnya tak lagi saya ungkit pekerjaannya. Kami lalu ngobrol banyak mengenai keluarga, bahasa, perkuliahan, pekerjaan saya, dan banyak hal. Kami sempat bertukar nomor namun hingga saat cerita ini ditulis kami belum juga saling sapa melalui Whatsapp.


Waiwo Dive Resort Raja Ampat

Setelah sampai di daratan, sopir yang akan membawa kami ke hotel telah siap menunggu. Baru sekali menjejakkan kaki ternyata sinyal langsung menguap. Jadinya saya tak bisa login pedulilindungi untuk scan barcode. Nah, untuk berjaga-jaga penting juga untuk membawa surat vaksin jika sewaktu-waktu hilang hinyal. Sayangnya saya juga tidak membawa surat vaksin tersebut. Sial! Jadilah saya masih riweuh sendiri sampai akhirnya polisi mempersilakan saya keluar dari dermaga.


sudah ada tulisan selamat datang, karena Waisai adalah bagian dari Raja Ampat

Bentang alam Waisai berbeda dari Sorong. Jika Sorong lebih panas dan “kota” banget, maka di sini lebih dingin dan dipenuhi oleh hutan. Jarak antara satu rumah warga dengan rumah lain cukup jauh. Di Waiwo, saya menginap di kamar paling ujung dengan view menghadap ke laut. Indaahhhhnyaaa!!! Saya terenyuh ketika mendapati mukena dan sajadah di dalam kamar. Petugas di sana sangat ramah saat saya bertanya kiblat menghadap ke mana. Satu yang tak pernah lupa, Namanya El. Saya memanggilnya Kak El, dia anak magang dari Sorong tapi ramah sekali. Staff yang lain juga tak kalah ramahnya. Kami bersama tamu dari India beserta seluruh staff bahkan merayakan natal di sana. Kebetulan saat kami di sana bertepatan dengan malam natal. Pihak hotel juga menyediakan berbagai menu istimewa, ada lontong, opor ayam, sambal goreng kentang, dan banyak lagi. Tamu dan staff makan bersama, bernyanyi, dan bersuka cita. Semua dekat seperti keluarga.

Spot yang paling saya sukai adalah di teras kamar. Saya suka bangun lebih dulu saat matahari belum keluar. Sholat Subuh ditemani suara ombak pantai. Subhanallah.. Setelahnya saya suka duduk tepekur di atas kursi goyang, menyaksikan ombak, kerang, dan matahari yang mulai memunculkan diri. Saya juga suka berlarian di pinggir pantai. Bersama Mia, saya mengumpulkan kerang yang berserakan dan kami anggap sangat bagus untuk dikumpulkan di teras kamar. Bukan hendak dibawa pulang, tapi untuk dipandangi betapa indahnya kerang-kerang ini. Karena meski saya sudah terbiasa dengan pantai Bali, sungguh kali ini di Raja Ampat segala keindahannya tak tertandingi. Kerang-kerangnya tak ada di Bali. Saya juga suka snorkeling di sini. Sekitar tiga meter dari bibir pantai kita sudah bisa menikmati keindahan bawah lautnya.

Memang benar, Raja Ampat adalah destinasi kelas dunia. Di mana kekayaan alamnya dan keindahan bawah lautnya sungguh luar biasa.

Saya bisa melihat banyak sekali jenis ikan bergerombol berenang ke sana kemari. Keluar masuk terumbu karang yang berukuran satu hingga dua meter dan berwarna-warni. Saya terperangah, seakan masuk ke dalam film Finding Nemo atau Finding Dori. Jarak pandangnya pun hanya sekitar 30 cm. Mereka benar-benar berenang di depan mata dan kita harus berhati-hati jangan sampai menyentuh terumbu karang tersebut.



Kami menginap selama 3 hari 2 malam sebelum lanjut ke Pulau Kri. Ohya, untuk makanan mereka menyediakan menu lengkap nasi-lauk-sayur 3 kali sehari. Kita tidak bisa request karena mereka masak menu yang sama untuk semua tamu. Karena bahan makanan di sini tidak berlimpah, kebanyakan masih harus diambil dari Sorong. Meski demikian, semua makanan yang dihidangkan enak-enak dan bergizi. Keseringan lauknya adalah ikan, namanya juga di pinggir pantai. Tapi tenang, kalau cuma sekedar camilan pisang goreng atau kentang goreng mereka masih menyanggupi kok :) Kalau ada agenda ke luar hotel dan mau makan di restoran lain juga tidak masalah asal konfirmasi saja ke staff.


 

kamar yang pernah disinggahi Pak Jokowi dan Ibu Iriana, orang nomor 1 di Indonesia

suasana resort yang menyatu dengan alam

makan malam hari pertama

restoran sekaligus reception desk

Betul, Pak Jokowi memang pernah menginap di sini pada awal tahun 2016 silam. Menurut artikel yang saya baca, beliau menyukai suasana resort yang masih asri dan alami. Sebagai bentuk apresiasi, pemilik resort lalu menamai kamar tersebut dengan nama beliau dan istrinya. Hal ini tentu juga membuat daya jual resort ini meningkat.

    

Di sela-sela waktu, saya suka bercengkrama dengan staff-staff di sana. Selain Kak El, ada juga yang lain yang saya lupa namanya.

“Ngaruh banget, ya, Kak, pandemi di sini?” Saya mencoba membuka obrolan.

“Iya, baru kali ini sepi sekali. Biasanya ramai tak pernah sepi.”

“Kalau virusnya sendiri gimana?”

“Tidak berani datang ke sini. Kita punya banyak laut, su capek dia sebrang laut.” Jawab perempuan berambut ikal ini sambil tertawa.

“Kapan hari saya lihat orang-orang ramai divaksin di tengah pasar. Pasti sulit ya aksesnya mau vaksin warga sini.”

“Iya. Kita harus jemput pakai kapal mereka yang ada di pulau-pulau itu to. Satu kapal kecil hanya muat satu keluarga, jadi harus bergantian. Kadang dipancing dulu dengan sembako, mereka datangi satu-satu ke rumah dan kasih sembako biar mau. Kalau tidak pasti tidak mau, to. Ah buat apa vaksin di sini sudah kebal semua sama virus, hehehe.”

Saya diam mendengarkan ia bercerita. Perempuan yang berasal dari pulau seberang ini banyak bercerita mengenai susahnya akses transportasi di sini. Tak hanya vaksin atau fasilitas rumah sakit jika ada seseorang yang sakit parah, pemilu juga menjadi tantangan tersendiri. Betapa tidak, untuk mendistribusikan surat suara saja sudah perlu banyak usaha dari satu pulau ke pulau lain, belum lagi membujuk warga yang tak mau aktif menyumbang suara.

“Ada juga warga di Kalibiru yang belum bisa baca tulis”, imbuhnya.

“Oh di sana masih ada perkampungan lagi?” Tanya saya kaget, karena setau saya Kalibiru ada di dalam hutan yang sepertinya tidak berpenghuni.

“Ada. Kakak jalan kaki, to? Nah dibalik sungai di dalam hutan itu masih banyak perkampungan. Mungkin sekitar 8 atau 9 perkampungan lagi. Mereka hidup dan makan dari hasil hutan. Saya pernah berjalan kaki tapi belum sampai ujung. Mereka masih buta huruf.” Jelasnya panjang sambil menerawang.

Hal ini sontak membuat saya kaget, karena ternyata masih ada orang-orang yang tinggal di pedalaman dan belum terjamah modernisasi maupun pendidikan. Sedangkan di sini, di Waisai semua orang yang saya jumpai sudah pakai gadget dan bersekolah hingga SMA/SMK, bahkan ada juga yang sampai di bangku kuliah.

“Kalau Bahasa Papua tuh gimana, sih,Kak? Kayanya mirip sama Bahasa Indonesia, ya?” Tanya saya lagi masih penasaran menyoal bahasa.

“Seperti Bahasa Indonesia, tapi orang Papua suka lebih singkat. Seperti saya jadi sa, sudah jadi su. Diambil depannya saja.”

“Oh, jadi kalau misal saya punya sapu jadi sa pu sapu? Heheheh.” Goda saya.

“Hahaha iya gitu to.

Semakin banyak bergurau dan bercengkerama dengan masyarakat lokal semakin saya merasa penasaran dengan kultur di sini. Tidak hanya keyakinan dan keindahan alam, namun pandemi dan banyak hal lainnya menyatukan kami dalam keterbatasan yang hangat.

 

Kalibiru, bukan sekedar kali berwarna biru

Kami tidak punya clue apa-apa saat sopir membawa kami ke Kalibiru. Masih di pulau yang sama tapi menempuh perjalanan yang lumayan lama. Saya sedikit kaget ketika sampai di tepi sebuah danau yang diseberangnya juga ada pulau. Mana kalibirunya, pikir saya.

Lalu kami dipertemukan dengan seorang bapak dengan dua orang anaknya, laki-laki dan perempuan. Saya lagi-lagi lupa namanya siapa. Mereka berumur 15 dan 13 tahun menurut perkiraan saya. Kami menaiki perahu kecil mengitari danau. Tentu dua anak ini yang menjadi pemandu kami, sedangkan bapaknya hanya duduk mengawasi. Hingga sampailah kami di tepi sungai yang dangkal. Aliran airnya deras dengan dasar bebatuan. Lagi-lagi belum ‘berwarna biru’. Di pinggir sungai itu sudah ada 2 ekor anjing yang menyambut kami. Gemas, mereka juga menjadi penunjuk jalan kami ketika berjalan memasuki hutan. Di dalam hutan ini sudah ada jalan setapak yang sengaja dibuat. Licin dan kotor karena tak ada penghuninya. Untungnya dua bocah ini tadi bawa sapu, sekarang baru saya pahami mengapa mereka membawa sapu. Mereka jalan duluan sambil membersihkan dedaunan yang berserakan, seakan menyambut kami. Sekitar sepuluh menit berjalan sampailah kami di sungai indah bernama Kalibiru.

Kami semua mengucap “Wooww” secara bersamaan. Sungguh tak menyangka bahwa sungai yang dimaksud akan seindah ini. Sungai ini tak lebar, hanya sekitar dua meter dengan tinggi lebih dari satu meter. Di sebelah kanan terdapat sebuah papan yang biasa digunakan untuk melompat ke sungai. Saya awalnya takut dan ragu karena kedalaman airnya. Saya memang bisa berenang, tapi ada di situ tetap merasa parno jika tiba-tiba ada ular atau hewan muncul dalam air.

“Byuuurrr… byuuurrr!!!”

Satu persatu lompat ke sungai tanpa ba bi bu. Dua bocah tadi juga, bahkan tanpa ganti baju. Tanpa pikir panjang saya seketika ganti baju dan bersiap renang.

Ini destinasi yang mahal, mencapai sini pun tak mudah. Hidden gem nya Waisai. Kalau saya kebanyakan mikir, saya akan menyesal seumur hidup saya.

Mantra itu yang saya ulang dalam hati. Kalau saya tidak segera mengambil langkah, saya sendiri yang akan merugi. Belum tentu dalam 20 tahun tempat ini masih ada, pikir saya. Dengan disemangati orang-orang yang ada di situ, saya akhirnya lompat juga.

“Aaaaaakkkk!!!!!! Byuuuurrrrr!!!!”

Saya berteriak sebelum akhirnya basah oleh air sungai. Ternyata cukup dalam lebih dari 2 meter kira-kira. Airnya dingin sekali seperti air es. Alirannya deras. Di dasar sungai terdapat batu berwarna putih. Mungkin itu yang membuat warna airnya menjadi biru toska. Amazing! Saya merasa sedang syuting MTMA hahaha.


perjalanan menuju Kalibiru




keindahan kalibiru yang khas

Waiwo - Kalibiru



Kommentare