Tentang Prasangka Negatif


Seringkali saya mendengar perkataan “Jangan negative thinking dong!” atau bahkan saya sendiri yang mengucapkannya. Ya, begitu entengnya memang. Namun pikiran-pikiran seperti “Wah belum tentu dia baik juga sama aku,” atau “Jangan-jangan dia marah sama aku,” terkadang cukup sering mendominasi alam bawah sadar saya terutama ketika berada di situasi yang tidak saya inginkan.

Saya pernah dengar nasihat seperti ini : ‘Jangan posisikan dirimu sebagai korban’. Lama saya berpikir mengenai kalimat tersebut dan bertahun-tahun belajar untuk melaksanakannya. Namun ternyata benar-benar sulit. Kebiasaan ini ternyata membawa dampak buruk bagi pribadi saya. Parahnya, saya baru menyadari hal tersebut baru-baru ini, saat usia saya menginjak 22 tahun.

Dampak yang paling parah saya rasakan ketika hendak menjalin relasi dengan orang lain untuk berkomitmen. Berada di zona ‘lebih dari teman’ bagi saya sudah seperti momok. Saya akhirnya memberanikan diri untuk berkomitmen dengan orang lain. Sudah lebih dari dua tahun kira-kira, namun prasangka-prasangka negatif tetap saja menyelimuti. Saya paham itu tindakan yang salah, namun apa daya. Saya sepenuhnya paham, ketika saya telah berkomitmen dengan seseorang itu artinya saya tidak boleh memendam prasangka terhadapnya. Komunikasi menjadi kunci utama, dan saya melakukannya. Untungnya, saya memiliki partner yang selalu terbuka sehingga jika ada sesuatu yang berjalan tak semestinya, ia selalu utarakan dengan gamblang. Tapi saya tidak tahu, apakah ia pernah berprasangka terhadap saya, mungkin perihal ini akan saya tanyakan nanti, hehe.

Prasangka negatif tidak hanya menyasar kepada orang lain. Tanpa kita sadari, prasangka ini lumayan sering juga mengarah ke diri sendiri. Bentuknya bisa berbagai macam, kalau saya sendiri bentuknya paling sering adalah meragukan kemampuan sendiri. “Aku bisa nggak ya,” “Mampu nggak ya aku?” “Wah kayanya aku ga bakal bisa kaya dia deh.” Sedari kecil, saya berteman dengan prasangka-prasangka itu. Meski saya tahu, saya sebetulnya mampu lho. Saya sadar saya bisa memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan orang lain.

Dari semua prasangka itu, saya kemudian berusaha untuk fokus pada prasangka negatif yang saya miliki selama ini. Saya banyak melihat, mendengar, dan membaca apa-apa yang saya pikir bisa saya gunakan sebagai solusinya. Hingga dari kesemuanya itu, saya simpulkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terlebih dahulu. 

1.       Mengakui dan menerima prasangka negatif.
Bisa dibilang ini adalah poin utama yang selama ini banyak kita abaikan. Seringkali kita menyangkal perasaan atau pemikiran yang mengarah pada prasangka negatif. Padahal sebetulnya penting bagi kita untuk mengakui dan menerima adanya perasaan negatif itu, seperti : “Ya, aku cemburu.” “Ya, aku marah.” “Ya, kemampuanku memang masih di level sekian.” Saya rasa hal ini relate dengan perempuan, saat ia merasa ada yang tak beres tapi tetap memaksa untuk berkata “i’m okay”.

2.       Be pause and take a deep breath.
Saat prasangka negatif mulai menguasai, coba hentikan semua aktifitas yang saat itu sedang dikerjakan. Diam dan ambil nafas dalam-dalam. Sangat sederhana, tapi  lumayan efektif. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk be pause, bisa dengan mendengarkan music, mandi, atau hal lainnya. Kalau saya sendiri, saya lebih memilih untuk tidak berkomunikasi dengan orang lain. Saat seseorang menangkap sinyal negative dalam diri saya, seketika saya bilang : “Ya, aku sedang bete, nanti aku hubungi lagi,” dengan begitu ia tahu kalau saya sedang dalam kondisi yang tidak baik. Saya memilih untuk sendirian berada di dalam kamar, merenungi apa yang sebetulnya ada di pikiran saya.

3.       Communicate when you’re ready.
Komunikasi, komunikasi, komunikasi. Saya rasa memang itu the only way to solve the problem. Ketika sudah siap dan telah berusaha semaksimal mungkin, saya biasanya akan komunikasikan hal-hal yang saya rasakan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Siapa sangka, justru dari komunikasi tersebut ada semacam perasaan lega, dan melalui komunikasi tersebut biasanya justru prasangka-prasangka negatif yang tadi ada di pikiran malah tidak benar adanya. Sebaliknya, justru malah akan kaget karena “Wah ternyata aku bisa!” “Ternyata kamu gak marah ya.” “Oh ternyata itu hanya pikiranku saja.”

Ketiga hal di atas belum sanggup saya lakukan 100%. Tidak jarang, saya justru 'menceburkan diri' pada prasangka negatif. Namun kembali lagi, saya sedang berproses. Semoga di waktu depan, saya lebih bisa mengontrol prasangka negatif tersebut, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. 

Kommentare

  1. Saya juga begitu mbak febb. Saya sering berprasangka negatif terhadap orang lain.
    Terkadang terhadap akibat perkataan atau kejadian yang mengganggu saya, itu bisa membuat saya berprasangka negatif terhadap orang itu.
    Saya beranggapan negatif thinking bukanlah hal yg buruk, terkadang itu hanya bentuk waspada diri akibat dari hal negatif yang menggangu kita, sehingga itu tidak mempengaruhi kita.
    Tapi memang benar, jangan terlalu tenggelam dalam prasangka buruk. Alangkah baiknya, kita segera berkomunikasi untuk membuktikan apakah itu memang hanya prasangka saja atau bagaimana.
    ������

    AntwortenLöschen
    Antworten
    1. benar mbak/mas. ternyata saya gak sendiri ya. kalau sudah begitu saya biasanya kepikiran terus selama belum dikomunikasikan.

      Löschen

Kommentar veröffentlichen