Impian Jadi Nyata: Injak Tanah Papua
Mia memandang awan putih di udara |
“cita-citae Ita keliling dunia terwujud..”
“Alhamdulillah Allah kabulin ya..”
Dua dari sekian respon
teman-teman setelah saya unggah foto saat berada di Papua. Mereka yang tahu betul bahwa
Papua adalah keinginan saya sejak lama. Jika ditanya mengapa, saya pun tak
tahu. Dulu, gadis kecil yang besar di desa ini teramat penasaran dengan luasnya
dunia dan indahnya Indonesia. Terlebih Indonesia bagian timur yang konon katanya
kekayaan alamnya tiada dua.
Banyak orang berpikir Papua
adalah daerah tertinggal, di mana penduduknya berkulit hitam, berambut
keriting, yang identik dengan keterbatasan dan kekurangan. Maybe that’s true,
but I see more from them. Kekurangan yang ada di benak kebanyakan orang
sejatinya adalah kelebihan yang tak kita punya.
Menginjak dewasa serta seiring
meluasnya ilmu dan jejaring yang saya punya, impian itu diam-diam masih tetap
ada. Mungkin simpelnya karena saya belum pernah punya teman dari tanah Papua kali,
ya. Namun sejalan dengan meningkatnya kebutuhan hidup membuat saya berpikir
pergi ke Papua sepertinya hanya angan semu. Mau kerja di sana juga pasti penuh
hambatan, hihi.
Untuk merealisasi itu rasanya
hanya jadi relawan yang benar-benar nol biaya. Relawan apa saja, di bidang pendidikan,
sejarah, maupun yang lain. Pernah sempat mendaftar Pengajar Muda, meski belum
tentu ditempatkan di Papua asal di luar Jawa mah saya bahagia banget!
Ternyata belum berhasil, Allah bilang belum waktunya.
….
Sekarang setelah Allah ijinkan
saya untuk injak tanah Papua, saya baru menyadari betapa Allah adalah
sebaik-baiknya perancang. Doa yang kita simpan dalam hati, yang kita kira tak
mungkin tercapai, yang kita kira Allah tak dengar, ternyata Dia menyimpannya
dan akan mengabulkannya di waktu yang tepat. Mungkin kalau saya dulu nekat
mengandalkan segala cara demi bisa terbang ke sana, berapa banyak uang yang
harus saya tabung dan berapa banyak waktu yang hanya terfokus untuk itu. Namun
dengan caraNya kini, saya bisa injak tanah Papua dengan nol biaya alias
gratisss!
Lagi-lagi, saya hanya terpana
jika mengingat kebaikan Allah. Perjalanan ini bukan hanya sekadar perjalanan mencoret daftar mimpi, namun juga perjalanan menambah rasa syukur.
Bali-Sorong, Pakai Acara Salah Tanggal, Hadeh!
Tinggal di Bali adalah impian
banyak orang, saya tahu. Sedangkan Raja Ampat adalah destinasi kelas dunia,
saya pun paham. Bagaimana jika tinggal di Bali lalu liburan ke Raja Ampat? What
a perfect life! Tapi ini nyata dan saya telat sadar bahwa ini benar-benar
kuasa Allah.
Nama Raja Ampat muncul sejak
sebulan sebelumnya. Opsi Raja Ampat dipilih setelah banyak tempat dipertimbangkan, mulai dari Jawa, Sumatera, Wakatobi, hingga Flores. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Raja Ampat mantab dipilih. Yey girang! Namun seperti telat sadar, saya baru excited dan prepare
sekitar dua minggu sebelumnya. Obat-obatan, baju renang, botol minum dan kartu
memori baru saya siapkan detik-detik menjelang keberangkatan. Ini destinasi
yang mungkin hanya sekali saya datangi jadi saya akan mempersiapkannya sebaik
mungkin dan menikmatinya senyaman mungkin.
That day was such a big day
for us. Gimana enggak, ini destinasi mahal dan jauh, yang sampai-sampai
bule-bule berduit aja terperangah saat mendengar kata “Raja Ampat”. I know I was
lucky, semua biaya ditanggung oleh GF dan karenanya saya sangat sangat
bersyukur. Tidak hanya itu, mereka sampai membelikan saya masker snorkeling
supaya bisa menyelami lautan Papua dengan puas. Baik banget yah, mereka.
That day was 22th December
2021. Kami berangkat pukul 5 pagi dengan 1 koper, 1 backpack, 3 tas
punggung, 1 babybed (bongkar pasang) serta 2 slingbag. Perjalanan
ke Papua ditempuh dengan dua kali transportasi udara, yang pertama menuju Makassar
lalu ke Sorong. Selanjutnya menuju Raja Ampat menggunakan kapal cepat. Pesawat
kami take off pukul 7 WITA dan untungnya pukul 6 kami sudah berada di Bandara
Ngurah Rai Denpasar. Suasana bandara kala itu sesak dipenuhi manusia yang
hendak bepergian. Padahal masih fajar dan di tengah pandemi, rupanya banyak
orang yang sudah tak sabar untuk pergi liburan akhir tahun. Mumpung belum PPKM kali
yah, hehe.
Sampai tiba giliran kami check
in, petugasnya bilang tiket kami salah tanggal. Boleh diulangi, SALAH
TANGGAL? Yup, kami seharusnya besok berangkat, bukan hari ini. Seketika semua
lemas, dong! Hahaha. Apakah ini bukti bahwa kami sangat sangat bahagia dengan trip
ini? Entahlah. Dengan semua persiapan dan rangkaian tes yang sudah dijalani
sehari sebelumnya, rasanya akan ribet jika harus kembali pulang. Perlu
diketahui, syarat perjalanan domestik dari dan menuju Bali saat itu adalah Tes
Antigen 1x24 jam bagi dewasa dan PCR bagi anak dibawah 12 tahun. Oleh sebab itu,
jika kami kembali pulang maka kami harus tes ulang, hmm…
Singkat cerita kami membeli tiket
baru untuk penerbangan pagi itu. Situasinya tegang, chaos, cemas dan
berbagai perasaan lainnya. Kami ndomprok alias duduk di lantai karena pasrah
dan capek dengan bawaan segitu banyak. Tak peduli dengan banyaknya pasang mata yang memandang ke arah kami dengan heran, kami cuek aja tak peduli. But in the end tiket baru sudah
di tangan dan kami harus lari-larian mengejar pesawat yang akan berangkat
beberapa menit lagi.
Mengawali perjalanan dengan
drama? It’s ok enjoy the trip!
on the way to Makassar |
Oh Sulawesi, I’m here!
Makassar.. Makassar.. kota
terbesar keempat di Indonesia ini memang sering saya dengar. Namun untuk
menjejakkan kaki di ibukota Sulawesi Selatan ini sepertinya mustahil, dulu
pikiran saya begini. Di benak saya Sulawesi sangat jauh dan agak sulit ya dan tentu tidak murah. Well, don’t jugde me, but this is real.
Saya seketika menyadari saya telah
menginjakkan kaki di Pulau Sulawesi ketika sampai di Bandara Sultan Hasanuddin.
1 jam berada di pesawat cukup membuat pantat ini kaku, hehe. Tapi tidak
membosankan, kok, karena memang bahagia dan pemandangan langit begitu indah. Pukul
9 WIT kami sampai di Makassar dan harus menunggu 3 jam untuk terbang lagi
menuju Sorong.
Sebetulnya dalam hati ingin
sekali pergi ke luar dan melihat seperti apakah kota Makassar ini, namun karena
GF memilih menunggu di dalam bandara jadilah kami semua menghabiskan waktu di
bandara.
Secara sekilas Bandara Sultan
Hasanuddin tak jauh beda dengan bandara lain di Indonesia. Aktivitasnya cukup
padat karena merupakan bandara penghubung ke Indonesia Timur maupun internasional. Satu hal yang
perlu diacungi jempol adalah keberadaan taman bermain mini di area tunggu. Cukup
menghibur untuk anak-anak apalagi saat transit lebih dari satu jam. Salut lah
dengan pemkot dan Dinas Perhubungan!
Der Kommentar wurde von einem Blog-Administrator entfernt.
AntwortenLöschen