Perjalanan Raja Ampat – Part 2


Sehari Jadi Warga Sorong

Sorong adalah sebuah kota di Papua Barat. Sekilas kota ini mirip seperti kota lain di Jawa. Bangunan, jalan, ruko, dan lain-lain tidak ada bedanya. Suhunya memang panas, tapi enggak yang panas banget. Masih wajar lah. Kami menginap di salah satu hotel dekat bandara. Hotel Vega namanya. Fasilitasnya lumayan lengkap, setara hotel berbintang 3. Ada kolam renang dan sarapan prasmanan tiap pagi. Yang bikin mencengangkan adalah adanya mushola! Mayoritas warganya memang beragama kristiani, tapi muslim juga tak sedikit jumlahnya. Keduanya hidup berdampingan membuat hati tentram. Setelah perjalanan panjang, hari itu kami lebih banyak bersantai di kamar dan menonton TV. Satu hal yang seketika menjadi problema adalah waktu. Rancu antara WIB-WITA-WIT. Karena otak masih terbawa WIB jadinya agak bingung menentukan waktu sholat ketika di Papua. Tapi ini bukan masalah besar, kok, karena saya memang sudah install aplikasi penanda waktu sholat di HP sejak tinggal di Bali.


Katanya, Saya dari Filipina

Ada satu pengalaman lucu yang saya dapatkan di hotel ini. Ketika berenang di kolam renang, ada dua remaja perempuan yang mendekati saya dan berbicara Bahasa Inggris. Satunya berusia sekitar 14 tahun dan adiknya berusia mungkin 10 tahun. Butet dan Elis. Keduanya manis dan berambut ikal. Saya meladeni saja obrolan mereka, ramah sekali. “I think you are from Filippines.” “no, I’m from Java Indonesian, haha.” Begitulah kami menyadari bahwa kami sama-sama orang Indonesia.   

“Mau pakai Bahasa Indonesia apa Bahasa Inggris, nih?” tanya saya. “Inggris aja, ya, sekalian latihan.” Jawab saya sendiri. Bukannya sok, saya malah salut dengan remaja ini. Bahasa Inggrisnya juga lancar, saya kira sudah dapat privilese dari orang tuanya. Lihat saja, dia orang Sorong yang sedang menghabiskan waktu liburan di hotel. Sayang sekali saya tak sempat simpan nomornya. Kami berfoto sekali lalu dia pamit. Sampai jumpa lagi, ya, Tet!

 

baca sebelumnya: Perjalanan Raja Ampat - Part 1


Bule Kulit Putih Bak Artis

Malam ke dua kami sengaja menghabiskan waktu berjalan kaki menyusuri jalan kecil menuju Taman Deo; semacam alun-alun yang lokasinya dekat bandara. Di sini banyak anak kecil bermain di taman bermain, melukis, naik odong-odong, dan banyak penjaja makanan. Sejak keluar dari hotel banyak pasang mata yang memperhatikan kami. Ehm maksud saya Kira dan keluarga, karena saya jelas tidak berkulit putih hehe. Semuanya ramah betul. Sampai di Taman Deo, banyak anak yang antusias mendekati Mia dan Nila. Seperti artis! Mereka mengerubungi Mia yang sedang melukis. Nila malahan takut dipelototi banyak pasang mata hahahha. Saya sendiri tertarik mendekati seorang ibu yang berjualan cincin dan souvenir oleh-oleh. FYI, selama di sini saya belum menjumpai toko oleh-oleh sama sekali. Namanya orang Indonesia, pasti penasaran dengan oleh-oleh kota ini.

Cincin Akar Bahar

Meskipun namanya akar, benda ini merupakan hewan yang berbentuk seperti tumbuhan dan hidup di bawah laut. Bentuknya unik dan berkhasiat bagi tubuh. Tidak jarang akar bahar ini juga dikaitkan dengan sesuatu yang mistis. Saya beli 2 waktu itu, entah lupa harga berapa. Ada pula gelang dari cangkang penyu. Kalau ini lebih mahal. Katanya, suami si ibu yang mencari sendiri dan membuatnya menjadi gelang. Saya yakin, yang hendak membeli aseroris ini pastilah wisatawan. Namun karena korona dan sedikitnya wisatawan, tentu membuat penghasilan mereka berkurang. Saya tak berani menawarnya terlalu murah, ah itung-itung membantu perekonomian mereka meski tak seberapa. Si ibu tak sendiri berjualan di sini. Selain ditemani suaminya, beliau juga ditemani Angel, putri kecilnya yang saya jumpai di atas perosotan sekitar satu meter dari ibunya berjualan. “Nama saya Angel,” katanya. Ah manis sekali.

gelang dan cincin dari akar bahar.


baca selanjutnya: Secuil Cerita tentang Sebuah Kota bernama Sorong

Kommentare