Perempuan yang Sedang Datang Bulan Bagaikan Anak Kecil yang Belum Bisa Bicara

 

Jadi perempuan itu sungguh tidak mudah. Aku pikir seiring berjalannya usia dan semakin banyak pengalaman yang kupunya bisa menjadikan aku sebagai perempuan yang less drama. Aku pikir semakin lama relationship yang kujalin bisa memudahkan aku untuk membuka suara dan pikiran. Ternyata semua itu tidak mudah dilakukan. 

Entah hanya aku atau memang banyak yang mengalami hal ini, rasanya aku perlu riset agar semua untaian pengakuan ini bisa diterima dengan logis. Memang banyak aku dengar “Perempuan kalau PMS  itu suka marah, nangis gak jelas, ­mood swing.” Tidak hanya dari pria, bahkan dari sesama perempuan yang mengalami mereka mengakuinya. Lapar berlebihan, sedih tiada sebab, mudah tersinggung, and all the  stuff like that. That’s real.

Satu hal yang aku ingin sampaikan, semua perasaan itu nyata. Bukan karena ingin dilabeli ‘perempuan normal’ atau sesuatu yang lain, semua perasaan itu valid. Seringkali juga aku dengar komentar “Kok bisa, sih?” atau “Aneh!” kebanyakan dari laki-laki yang ikut terdampak atas perubahan suasana hati yang dialami perempuan. Lalu kami menjawabnya dengan, “Ya gak tau!”

Mohon bersabar, ini ujian. Bukan cuma buat kalian, para lelaki, tapi perempuan sendiri.

Sesungguhnya perempuan sendiri tidak tahu dan tidak bisa mendefinisikan perasaan-perasaan itu menjadi kata-kata. Ia bingung, ia sedih, ia merasa sendiri, merasa tidak dicintai oleh siapapun, merasa sangat mudah tersinggung dengan chat terakhir yang kamu kirim, padahal kamu tidak berniat membuatnya tersinggung. Ia ingin marah, berteriak, mengucap semua kata umpatan yang sebelumnya tidak pernah keluar dari mulutnya, ia ingin menangis sejadi-jadinya, ia ingin melempar semua barang di depan matanya. Ia ingin memulai pertikaian hebat supaya ia puas dan emosinya bisa tersalurkan. Ia ingin menjambak, memukul, menampar, membuat tersiksa orang di dekatnya yang padahal ia tahu ia amat menyayanginya.

Nyatanya, semua itu tidak terjadi. Ia mengurung diri rapat-rapat supaya ia terlihat baik-baik saja. Di balik perutnya yang kram, kepalanya yang pusing, punggungnya yang linu, perasaan-perasaan abstrak itu turut berkontribusi memperparah keadaan. Ia berusaha dengan segala cara untuk keluar dari lingkaran ketidaknyamanan ini. Ia makan makanan kesukaannya, ia memanjakan dirinya sendiri, ia pergi ke tempat favoritnya, ia berbincang dengan sahabatnya, ia mendengarkan musik sampai tidak terasa mengalir air matanya, ia …. melakukan semuanya sendiri, bergelut dengan perasaanya sendiri. Ia merasa jauh, jauh dari Tuhannya, dari percaya dirinya, dari orang terdekatnya, dari pikiran positifnya, dari … semuanya! Jangan pikir ia tak lelah dengan dirinya sendiri. Mengalami hal serupa secara berulang setiap bulannya menjadikan ia lelah dan bosan untuk merasai semuanya. Ia bahkan bisa memprediksinya sendiri samar-samar emosi yang mulai berubah. Hari ini senang ceria lalu besoknya sedih dan merasa kosong. Ia paham detik-detik mood swing mulai hadir. Tidak jarang ia memberi pertanda kepada orang terdekat agar mereka paham bahwa sebentar lagi dirinya bisa jadi akan berubah menjadi monster.

Ya, situasi yang rumit, memang. Seringkali pasangannya lah yang menjadi tempat menyalurkan semua emosi itu ketika tak tahu lagi ia harus bagaimana. Ia ingin bercerita, ia ingin mengeluh, namun tak sampai hati ia melakukannya. Ia urungkan, karena sekali lagi, ia tidak benar-benar tahu harus bercerita bagaimana dan ia tak mau membuat bingung orang lain.

Karena tak tahu benar harus melakukan apa, karena memahami rasanya saja tidak bisa, kata-kata yang keluar mulut lelaki biasanya hanya, “Mungkin kamu perlu waktu, enjoy your time dulu, ya.”

She already knows. Tanpa disuruh perempuan tahu ia harus menikmati waktunya. Tanpa dikomando perempuan telah melakukan semua hal yang membuatnya nyaman dan bahagia. Ia tahu ia harus mengatasinya sendiri tanpa merepotkan orang lain, apalagi pasangannya.

Perempuan ini layaknya bayi yang belum bisa bicara, yang menangis kala lapar, yang berteriak kala tak diperhatikan. Ia tak bisa mendefinisikan perasaannya menjadi kata-kata sehingga orang tuanya pun tak mampu memahaminya. Orang lain hanya diam, menerka-nerka apa yang diinginkan si bayi. Katanya, ketika bayi melakukan hal-hal yang tidak biasa ia lakukan seperti berteriak kencang tanpa sebab, menjadi nakal, atau membuat ulah, itu artinya ia sedang haus akan perhatian. Ia mau diperhatikan, dipeluk, diusap, diberikan kenyamanan, dan yang terpenting divalidasi perasaannya.

 


Maka begitulah perempuan. Ia butuh divalidasi perasaannya, butuh dibantu untuk mengurai semua kekusutan pikirannya, diberi kenyamanan, dibantu membahagiakan dirinya, didengarkan, bukan dibiarkan sendirian. Sekalipun ia adalah perempuan mandiri yang bisa lakukan semua sendiri. No! Dia memang bisa lakukan semuanya sendiri, tapi bagaimanapun ia tetaplah perempuan. Tidak ada perempuan yang suka kesendirian, apalagi dibiarkan sendiri dalam ketidaknyamanan apalagi dalam lingkup orang tersayang.

Kommentare