Tentang Si Bayi

Helloo!! Akhirnya sampai juga di post ini wkwkkw. Pada postingan sebelumnya aku cerita tentang bagaimana aku menghabiskan hari pertama di rumah Gastfamilie. Yah, that day was fun! Sampai ketika aku mencoba mendekati si adek. Dari awal memang sudah dijelaskan bahwa tugasku akan lebih banyak menemani si adek karena dia masih berumur kurang dari dua tahun dan ada banyak sekali anak tangga di rumahnya sehingga aku harus lebih ekstra hati-hati untuk menjaganya.

Kami memulai pendekatan itu dengan sangat lembut. Kami? Ya, kami semua, bukan hanya aku. Padanyalah letak tantangan pertamaku. Aku ingat betul bagaimana mereka membiasakan menyebut namaku supaya Nila (nama si adek) terbiasa. Dengan tebak-tebakan, misalnya “Wo ist Nilas Nase?” (Di mana hidungnya Nila?) “Wo ist Papas Nase?” (Di mana hidungnya Papa?) “Wo ist Itas Nase?” (Di mana hidungnya PIta?). Dia menyentuh hidungnya dan hidung Papanya, namun tidak menyentuh hidungku, hanya menunjuk. “Das ist okay, kita coba lagi besok,” Kata Hilger.

Begitulah setiap waktu kami mencoba untuk mengambil hati Nila. Setiap kemajuan yang berhasil dia tunjukkan membuat kami sangat senang dan semakin optimis. Awal mula tak mau ia sama sekali menengokku, namun kemudian ia mau melihatku dan perlahan mau menyentuhku. Telah berbagai cara kami semua mencoba, akupun tidak luput untuk bertanya pada mantan Aupairnya yang sekarang masih ada di Jerman juga pada temanku lainnya yang pernah Aupair. Banyak saran mereka yang aku coba lakukan. Seperti berlagak membaca buku cerita dengan lantang, bermain bersama Mia dan membuatnya seolah cemburu, hingga mengajaknya secara langsung. Sungguh sungguh tidak mudah. Menangiskah ia? Setiap waktu. Setiap kali ia tak bersama kedua orang tuanya dan ia tahu aku sedang mendekatinya, seketika itu pula ia menangis kencang. Kami semua sampai bingung.

Di sana ada beberapa orang Indonesia yang juga bekerja sebagai staf. Tidak hanya aku, mereka semua ikut berusaha untuk mengambil hatinya. Lalu bagaimana? Tidak tergoda, pemirsaaahhh! Seakan dia tahu bahwa ia sedang didekati dan mungkin ia berpikir kalau kami semua ingin menjauhkannya pada Mama dan Papanya. Kami semua saling pandang ketika “momen” Nila sedang rewel datang. “Susah ya sama Nila?” Hilger tiba-tiba menghampiriku. “Iya,” Jawabku singkat. Semua orang merasa stress juga karena dia benar-benar tidak bisa ditinggal sedangkan kehidupan “normal” harus segera berjalan.

Sedikit berjalan mundur kala kami semua belum bertemu, kami sempat video call dan Nila juga pernah melihatku. Ia sangat ramah bahkan pada orang asing sepertiku. Oleh sebab itu kami semua heran mengapa di Bali sikapnya bisa begitu berbeda. Ia benar-benar takut pada orang baru, apalagi dengan orang Indonesia yang kulitnya sawo matang. Tidak berputus asa, kami semua tetap optimis. Kami maklum jika ini mungkin merupakan waktu yang sulit untuk Nila beradaptasi. Kata mereka, ini kali kedua Nila datang ke Bali yang sebelumnya masih sangat kecil ketika datang kemari. Yaa pantas saja jika ini (anggap saja) kali pertamanya datang ketika ia sudah lumayan besar.

Pemakluman itu tidak lantas membuatku tenang. Di satu sisi aku merasa lega karena ia sudah mulai menerima keberadaanku sebagai anggota keluarga, namun di sisi lain ia tidak mau ditinggal hanya berdua denganku, dan karenanya aku masih sedih. Aku seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku merasa tidak mampu menjadi seorang Aupair. Tiap malam aku menangis dengan kondisi tersebut. Orang-orang terdekatku jadi saksi masa-masa ini karena aku selalu intens menelfon mereka hanya untuk menenangkan diri. Aku juga menceritakan semuanya pada orang tuaku. Berbagai saran mereka coba berikan. Mereka juga berusaha menenangkanku dengan berkata bahwa hal itu wajar bagi anak kecil. Mereka butuh waktu lebih lama ketimbang orang dewasa untuk beradaptasi dengan sekitar. Toh, belum satu bulan, kan?

Kata-kata Ibu dan Ayah selalu membuatku tenang. Mereka juga menyarankan aku untuk selalu berdoa ketika sholat supaya jalanku dilancarkan. Aku pun tak pernah luput berdoa, bahkan ketika aku bersama Nila selalu kubaca Al-Fatihah agar ia tidak lagi cranky, wkwkwk.

Pernah suatu waktu kita semua merasa sangat lelah dengan kondisi tersebut. Kira dan Hilger seperti menangkap aura kegelisahanku. Lalu tanpa aku sadari Hilger mendatangiku dan menepuk pundakku sambil berkata, “Ita, Saya tahu ini susah. Tidak biasanya Nila begini, kamu tahu Nila sangat ramah kepada semua orang. Kamu sudah mencoba yang terbaik, kita coba lagi besok, ya.” Seketika ingin jatuh air mataku namun aku gengsi, dong, untuk menangis di depannya. Aku tahan sambil bilang, “Iya, mungkin dia butuh waktu lebih lama untuk beradaptasi.”

Sehari, dua hari, tiga hari, lalu seminggu, kami terus berusaha untuk melekatkan Nila padaku juga pada orang-orang yang bekerja di sana. Saat Nila menggandeng tangan Papanya, kami ajak juga untuk menggandeng tanganku. Jadi kita bergandengan tangan bertiga: Hilger, Nila, Aku. Bisa dibayangkan, kan? Ketika makan, aku dan Kira bergantian menyuapinya. Bermain bola, kita bermain berempat atau bahkan berlima dengan Mia. Ketika memberi makan ikan, kami giring ia untuk mengambil makanan ikan bergantian dari tangan Hilger kemudian tanganku. Begitu pula ketika berenang atau memakai Sonnencreme, dari yang awalnya sama sekali tidak mau aku bantu, lama-lama ia mau aku melakukannya meskipun tetap bersama Papa atau Mamanya hahaha.

Kalau diingat sungguh berat hari-hari itu. Aku bahkan sampai memikirkan kemungkinan terburuk, yaitu pulang ke Jawa lagi karena merasa tidak sanggup meluluhkan hati si kecil ini. Namun dengan lekas aku hilangkan, karena tidak terlihat tanda-tanda kejadian itu. Aku sangat bersyukur karena meskipun aku mendapat tantangan sebesar itu, aku juga dapat support yang lebih besar dari Mia, Kira, dan Hilger. Mereka benar-benar tidak lelah berusaha dan menguatkan aku, bahkan memuji aku kalau aku sudah melakukan sebaik yang aku bisa. Dari support system yang lain, orang tua, Ammar, Santik, Zaza, Arinda, dan Adel juga selalu membuatku optimis. Ah, pengen mewek lagi kalau diingat masa-masa itu. Aku bahkan ingat dengan jelas pagi-pagi sekitar pukul 9 atau 10 aku bilang pada Santik, “Tik, aku butuh telfon. Aku pengen nangis, dengerin aja, ya.” Di telefon aku menangis sekuat-kuatnya, semuanya tak lagi terbendung, aku luapkan semua yang kurasakan. Entah berapa lama Santik mendengarkan tangisanku, haha, duh kalau diingat jadi ingin ketawa sekarang. Setelah semua emosi berhasil aku keluarkan, lega yang se-lega-leganya aku rasakan. Mulai dari sanalah Santik kemudian menenangkanku dan aku mulai bisa menghadapi dunia lagi.

Kami semua akhirnya sampai di satu titik, di mana ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi. Cara-cara lama tidak bisa dilakukan lagi. Dua minggu adalah waktu yang cukup dan akhirnya kami memilih jalan yang lebih “keras”. Mengapa? Karena semua kegiatan harus berjalan sesuai rencana, Kira dan Hilger harus olahraga, bertemu teman, menjalankan bisnis, me time, dan kegiatan lain sehingga memang Nila dan Mia harus bersamaku di rumah. Lalu bagaimanakah cara “keras” itu? Jika sebelumnya kami lebih banyak menggunakan afirmasi dan ajakan pada Nila, dan apabila ia menolak dan menangis kami tidak lagi tega. Ujung-ujungnya Papa Mama kembali bersamanya. Nah kali ini kami sepakat untuk tidak lagi memberinya ruang untuk menolak. Memang butuh ketegaran hati untuk mendengarkan tangisannya, tapi ini sudah resiko. Sebelum mereka meninggalkan Nila, tentu mereka bermain-main dulu bersama sambil sedikit ablenken, alias nyelimur istilah jawanya. Kemudian pamitan (bilang kalau Papa dan Mama akan berangkat ke Gym). Setelah itu pergi secara sembunyi-sembunyi. Nangis? Oh jelas! Setelah itu barulah aku beraksi, kadang dibantu staff lainnya yang juga ada di sana. Kami jalan-jalan, liat dan kasih makan ikan, beli eskrim, menggambar dan mewarnai, berenang, bahkan sesimpel makan pisang atau yogurt. Semua cara deh! Awal mula ia nangis kejer, sama sekali gak mau aku sentuh. Mungkin ia merasa dikhianati kali ya sama orang tuanya sendiri, wkwkkw. Tapi aku coba tenang, kasih dia ruang, dan aku ajak ngobrol dia pelan-pelan. To be honest, aku seperti menerapkan ilmu parenting yang selama ini aku pelajari lewat Instagram. Aku bersimpati padanya, aku akui kesedihannya karena setiap perasaan itu valid. Lalu aku bilang bahwa aku di sini sehingga dia tidak perlu khawatir, kemudian yang terakhir aku ajak dia melakukan hal lain yang menyenangkan. Misalnya seperti ini: “Du bist traurig, ne? Papa und Mama müssen jetzt gehen.” (Kamu sedih, kan, Papa dan Mama harus pergi sekarang.) Dia jawab “Ja,” (Ya) sambil sesenggukan. “Alles gut, du brauchst kein Angst haben. Ich bin hier. Papa und Mama machen Sport und nicht lange, versprochen. Um 1 Uhr kommen sie züruck und mit dir wieder spielen.” (Tenang, ya, kamu gak perlu takut. Aku di sini. Papa dan Mama lagi olahraga dan gak lama, kok, janji. Nanti jam 1 mereka balik lagi dan main lagi sama kamu). Biasanya dia akan jawab “Ya” lagi. Lucu sekali kalau dia menyahut seperti ini, gemess. Yah begitu kira-kira aku menenangkannya, meyakinkannya bahwa mereka pergi tidak lama. Seringkali juga aku tekankan namaku supaya dia lebih nyaman berada denganku, misal “Ita bleibt hier mit dir und ich möchte mit dir spielen.” (Ita tetap di sini bersamamu dan aku mau main sama kamu.) Nah enaknya, Nila ini tipe anak yang selalu mendengarkan dan menanggapi. Jadi misalkan dia marah atau nangis lalu aku memintanya untuk sedikit tenang dan aku berbicara sesuatu maka dia akan mengikuti arahanku dan selalu membalas “Ya”. Salah satu perbedaan yang teramat jauh dengan kebanyakan anak Indonesia, bukan? Padahal usianya hanya 1,5 tahun namun sudah sangat bisa mengontrol emosi dan perasaannya. Entah dia paham perkataanku atau tidak, namun dia selalu merespon dengan baik dan perlahan menjadi tenang. Keren, gak, sih?

Lama-lama dia seakan menyadari bahwa tidak ada pilihan lain baginya untuk tidak mempedulikanku. Pelan tapi pasti dia mau aku gendong, mau aku bacakan buku, yaahh mau berada lama denganku lah. Sebuah kemajuan yang sangat membuatku bahagia. Ia bahkan tak ragu memanggilku “Ati”. Ini bagian tergemas bagi kami semua, yakni dia tetap tidak bisa memanggilku Ita dan malah memanggilku Ati, bahkan sampai kami berpisah. Entah berapa kali kami mengajarinya untuk memanggil namaku dengan benar namun rupanya dia lebih menyukai kata Ati, hahhaha. Akhirnya kami semua membiarkannya dan malah yang lain ikut memanggilku demikian wkwk.

Oh iya, sebelum fase bisa memanggil namaku ini ada satu bagian yang lagi-lagi buat aku sedih. Waktu itu momennya dia sudah mulai mau denganku atau orang lain dan sudah bisa ditinggal. Namuuunnn dia masih enggan untuk menyebut namaku. Pun, jika di rumah ada orang lain selain aku (staff lainnya) dia memilih bersama mereka ketimbang bersamaku. Dia juga bisa menyebut “Titi” (nama seorang staff yang bernama Martini). Aku tidak memungkiri, ya, ada satu rasa sedih yang aku tahan. Karena dia mau bersamaku jika tidak ada orang sama sekali, namun dia bisa benar-benar melengos padaku jika ada orang lain. Huhu begini ya rasanya cinta bertepuk sebelah tangan…

Waktu masih terus berjalan dan aku masih terus berusaha dan berdoa. Setiap kemajuan yang Nila tunjukkan selalu kami apresiasi, misalkan kami ajak ngobrol ketika malam hari. “Du hast geschafft, Schatz. Du hast mit Ati gespielt, ne? Was habt ihr zusammen gemacht?” (Kamu berhasil, Sayang. Kamu main bareng sama Ati, ya? Ngapain aja kalian tadi?) Lalu aku menceritakan apa yang kami lakukan dan apa yang membuatku senang, misal jika kemarin dia menangis waktu aku mandiin, kali ini nurut dan tidak menangis.

Butuh waktu satu bulan untuk bisa benar-benar mengambil hati Nila. Semuanya pelan-pelan, setiap harinya kami mencoba cara lain supaya lebih gampang untuk Nila nyaman ketika ditinggal. Jalan bulan ke dua semua semakin lancar. Dia mulai paham dan terbiasa bahwa jam sekian sampai jam sekian orang tuanya pergi dan dia harus bermain bersamaku. Sampai tiba di waktu kami tak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Papa dan Mamanya pamitan dengan jelas dan blak-blakan. Bahkan kami semua dibikin kaget ketika dia dengan sendirinya mengucap “Byeee… hati-hati..” (hati-hati ini sering banget kita ucapkan makanya dia familiar wkwkkw). Sebuah kemajuan yang luar biasa!

Begitulah kemudian hari-hari kami berjalan. Semakin lama ia semakin lengket denganku. Mulai dari yang awalnya hanya ditinggal Gym, lalu ditinggal sampai siang (makan dan tidur siang aku yang ngurusin), hingga ditinggal sampai malam (aku yang menidurkannya di malam hari), bahkan ditinggal menginap. Jadi sehari penuh dia bersamaku. Aku tidak menyangka usaha-usaha dan doa yang selama ini kami lakukan ternyata berbuah hasil. Bulan ke dua hingga seterusnya kami telah menemukan ‘ritme’ yang pas. Jadi aku juga semakin enjoy menjalankan tugasku. Meskipun memang di beberapa waktu jam kerjaku jadi sedikit lebih lama karena harus ‘ekstra’ ngurusin Nila serta Mia di malam hari menjelang tidur, tapi aku senang, kok.

Nila, pada dasarnya anak yang ceria dan mudah diajak berkomunikasi. Meski masih teramat kecil namun ia layaknya orang dewasa yang paham ketika diberi arahan. Tentu ada masa di mana dia tidak bisa diberi tahu, ngeyel, tantrum, bahkan ketakutan. Namun kelembutannya selalu mampu membuat kami jadi luluh. Nila paling suka dipeluk apalagi ketika sedang takut atau kaget. Duh kalau ingat si gemes satu ini aku jadi kangen :’)

ketika di rumah hanya berdua

Di Water Palace, Karangasem. Kenapa aku yang paling girang, ya?

Di Bvlgari Hotel, kolam renang terkeren yang pernah aku jumpai.



Kommentare