Pernah nggak sih kalian melakukan sesuatu karena alasan yang begitu sederhana dan konyol? Aku pernah, dan itu terjadi belum lama ini.
Kegiatan
magang yang aku lakukan bersama teman-teman kelas Sastra Jerman 2015 beberapa
waktu lalu adalah contoh yang aku alami. Mengapa tidak? Saat teman-teman begitu
seriusnya memilih tempat magang dengan berbagai alasan -menambah ilmu,
pengalaman, bekal di masa depan, relasi, dan lain-lain- aku dengan gampangnya
memilih penerbit supaya bisa baca buku gratis setiap waktu. Yaa meskipun pada
akhirnya yang aku dapatkan sangat lebih dari sekedar baca buku gratis, hahaha. Alasan
lain mengapa aku ‘ngotot’ memilih penerbit adalah karena penasaran terhadap
sistem kerja yang ada di dalamnya. Berbeda dengan instansi lain, penerbit cukup
sulit ditembus informasinya melalui internet. Alhasil, aku beserta ketiga
temanku harus bersusah payah menghubungi satu persatu akun Instagram penerbit-penerbit
yang masuk list kami dan yang ada di
Jogja (Ya, yang utama memang harus berada di Jogja, hehe). Bersyukur karena
hadirnya media sosial yang satu ini sangat memudahkan pekerjaan kami.
Setelah ditolak salah satu penerbit kenamaan
Indonesia, aku harus legowo menerima
kenyataan bahwa kami akhirnya diterima oleh penerbit buku indie, untungnya berbasis
di Jogja. Sempat ada rasa kecil hati karena niatan awal adalah penerbit mayor,
bukan penerbit indie. Namun, setelah menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswa
magang hal-hal yang membuat kecil hati pelan-pelan menghilang.
Indie
Book Corner adalah salah satu pionir penerbit buku indie di Indonesia. Inilah
gerbang awal aku bertemu dengan Mbak Dian, editor yang cantik jelita tapi suka
galau. Aku mendaftarkan diri sebagai editor, selain karena (setidaknya) aku
pernah mendapatkan sedikit ilmu di bangku perkuliahan, profesi itu juga menjadi
salah satu “dream job” di masa depan.
Di usianya yang baru menginjak 9 tahun, IBC memiliki 8 personil yang mana di
dalamnya terdapat pemred (pemimpin redaksi), sekretaris, editor, layouter, dan
marketing.
“Ah gampang lah seminggu
juga pasti langsung akrab”, pikirku. Namun pikiran hanyalah sebuah pikiran jika
tak direalisasikan. Hari-hari pertama aku merasa kesulitan untuk menempatkan
diri, karena sistem kerja yang belum aku pahami betul. Mereka, orang-orang IBC tak menghabiskan waktu untuk
ngobrol-ngobrol ria atau sekedar melakukan hal yang tak penting. Masing-masing
dari mereka selalu serius menatap layar komputer dan hanya akan berbicara atau
keluar ruangan sesekali ketika mereka membutuhkan sesuatu. Jadilah bayangan
langsung akrab perlahan terkikis, di tambah lagi rasa kecewa karena apa yang
sudah aku bayangkan selama ini nyatanya tak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Sebagai editor, aku tentu berharap akan selalu disodori naskah-naskah dari
penulis untuk aku sunting atau setidaknya ditugaskan untuk membalas email-email
yang masuk dari penulis. Kenyataannya, aku hanya diberi tugas untuk menulis dan
menulis. Beberapa tema artikel yang sempat aku tulis di antaranya adalah piala
dunia, hari anak nasional, tips menulis, dan kalau tidak salah tentang Jerman
dan literasi Indonesia. Namun pada akhirnya aku sadar, seorang penyunting yang baik adalah ia yang mampu menulis dengan tata
bahasa yang baik dan benar, lebih dari sekedar baca-hapus-ganti kalimat.
“Lalu apa bedanya dengan
kuliah biasanya?” sempat terpikir hal seperti itu karena memang cara kerja kami
hampir seperti kuliah. Nulis-deadline-revisi-nulis-deadline-revisi, tidak heran jika hampir
tiap malam aku begadang di depan layar sambil ngopi bersama Sela (rekan
begadang) dan diselingi ngobrol ngalor-ngidul
tak tentu arah. Pertanyaan yang sama pun sempat dilontarkan salah satu
dosen, mengingat penampilan mahasiswa magang seperti kami ini tak memakai
pakaian formal layaknya teman-teman yang magang di tempat lain. Jangankan
begitu, almamater yang kami bawa dari Surabaya saja tak terpakai. Mbak Dian
ataupun Mas Bajang, pemred IBC pernah bilang bahwa kami tak perlu mengenakan
pakaian super formal ke kantor, rapi saja sudah cukup. Di sisi lain, kami
bersyukur karena selain tak perlu ribet pakai kemeja-celana kain-pantovel, kami
juga sama sekali tak ada persiapan mengenai itu.
Dua minggu berlalu, aku
mulai bisa mengikuti cara kerja orang-orang IBC dan orang-orang Jogja
kebanyakan. “Paginya Jogja itu jam
sepuluh”, kata mas Ilham. Kadang masih suka tertawa sendiri jika teringat
aku dan teman-teman berangkat pagi dan di kantor masih sepi. Hahaha. Pantas
saja toko-toko di sana mulai buka paling awal pukul sepuluh, bahkan penjual
sayur yang kalau di Surabaya pukul 7 sudah pada bubar, di Jogja pukul setengah
11 baru muncul. Hmmm… Akibatnya selama di Jogja pola hidupku dan teman-teman
bergeser. Bangun siang dan tidur dini hari, bahkan mungkin tidak tidur kalau
sedang hectic dengan deadline.
Di pertengahan masa
magang ini aku juga dihadapkan dengan berbagai tantangan baru. Pertama perihal
menulis dan kedua soal menguji kemampuan diri di luar zona nyaman. Aku ingat,
terakhir kali aku menulis resensi buku ketika duduk di bangku SMP, dan tentunya
kualitas menulisku waktu itu masih sangat minim. Kali ini aku diberi tugas
untuk menulis resensi buku “Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir” karya
Pringadi A. Surya. Banyak sekali ilmu yang diberikan mbak Dian terkait menulis
dan menyunting, terutama swasunting alias menyunting tulisan sendiri. “Jangan
lebih dari 8 kata!” Wanti-wantinya
menyoal penyusunan judul. “Biasain liat KBBI, nanti kalau di Surabaya gimana
kalau tanya ke aku terus?” katanya tiap kali aku malas membuka KBBI. Maklum
saja, KBBI adalah kitab wajib bagi orang yang berkecimpung di dunia
kepenulisan. Ada juga Mas Sandok, laki-laki yang sehari-harinya ada di Toko Budi
ini tak pernah telat untuk nagih tulisan-tulisanku. “Kamu itu kalo bikin judul
yang masuk di Search Engine dong,
judul kayak gitu mana ada yang mau baca!” Kritik-kritiknya memang pedas, tapi
dari situ aku justru terpacu untuk menghasilkan tulisan yang lebih menarik dan
berkualitas lagi.
Redaksi IBC bekerja mulai
pukul 10.00-17.00 dari Senin sampai Jumat, tapi Toko Budi (Buku Indie) buka
sampai larut malam. Toko Budi adalah toko buku milik IBC yang di dalamnya
menjual buku-buku terbitan IBC sendiri maupun non-IBC. Jika ada event seperti bedah buku, pameran, atau
kegiatan kepenulisan lain jam kerjanya malah lebih tidak teratur. Event pertamaku adalah bedah buku “Makam
Seekor Kuda” karya Sunlie Thomas Alexander. Ini adalah buku yang resensinya
ditulis oleh Sela, oleh sebab itu ia menjadi moderator dalam acara ini. Aku
menjadi MC, sedangkan Sandhy dan Tika menjadi peliput dan bagian dokumentasi.
Selama ini, berbicara di depan orang banyak adalah salah satu kelemahanku dan
menjadi pusat perhatian adalah hal yang aku hindari. Namun entah dorongan dari
mana, aku tak melewatkan kesempatan emas itu. “Aku akan lebih menyesal jika aku menolaknya”, paling tidak itu
yang selalu terngiang di dalam otak. Alhamdulillah, dengan dorongan Mbak Dian
dan teman-teman aku berhasil melaksanakan tugasku sebagai seorang MC, meskipun
banyak belepotan karena grogi.
Dua minggu terakhir di
IBC terasa begitu cepat. Di akhir masa magang secara kebetulan bertepatan
dengan perayaan Festival Kesenian Yogyarta (FKY), yakni agenda terbesar yang
dimiliki pemkot Jogja. Hampir setiap malam aku dan teman-teman berada di sana.
Pasar seni, panggung senyap, workshop, pameran,
dan banyak sekali kegiatan yang bisa dinikmati (apalagi bagi orang luar Jogja
seperti kami). Di antara sekian banyak rangkaian acara tadi, ada satu agenda
yang menarik bagiku, yaitu Sastra FKY. Di dalamnya ada kelas puisi, bedah buku,
diskusi seni, parade puisi, dan masih banyak lagi. Dan, Indie Book Corner turut
ambil bagian dalam acara ini melalui bedah buku “Refrain Penghabisan” karya
Nikolaus Loy.
Tiga hari sebelum hari H
kami baru dikabari jika Mbak Dian berhalangan hadir dan ia memberikan mandat
ini kepada kami. Meskipun dag dig dug ser, akhirnya aku memberanikan diri
menjadi moderator. Lagi-lagi menjadi moderator adalah pengalaman pertama
buatku. Terlebih ketika aku tahu bahwa penulis dan pembedahnya merupakan
seorang dosen, makjleb rasanya. Antara antusias, grogi, takut, semua bercampur
aduk. Dengan segala cara aku coba tepis semua pikiran yang membuatku down, kubuat itu semacam tantangan dan
semangat serta pembuktian bahwa aku bisa melaksanakan amanah ini. Kucukupkan
waktu tiga hari tersebut untuk membaca buku Refrain Penghabisan di samping
berkutat dengan tugas-tugas menulis yang lain. Sempat terpikir untuk
membatalkan, mengingat Refrain Penghabisan adalah buku antologi puisi dan
banyak di antaranya mengenai sosial politik, yang mana kedua hal tersebut
bagiku adalah hal yang rumit dan susah dipahami. Namun lagi-lagi segera kutepis
niatan itu dan mulai meracuni diri senidiri dengan mantra-mantra motivasi.
Akhirnya hari H pun tiba.
Lokasi bedah buku ada di Kampoeng Prawirotaman, untungnya sehari sebelumnya aku
sudah survey lokasi jadi tidak begitu sulit menemukan ruang berlangsungnya
bedah buku. Tugas pertama adalah bertemu Pak Loy dan Pak Yoseph, beliau berdua
selain penulis juga dosen dan praktisi di bidangnya. Ada juga seorang lagi,
rekan Pak Loy dan Pak Yoseph yang datang langsung dari Mataram. Aku lupa
namanya, beliau seorang pendeta dan rela datang jauh-jauh demi agenda ini.
Mereka orang yang ramah, aku banyak diajak menelusuri cerita-cerita masa muda
mereka di Nusa Tenggara sebelum akhirnya pindah ke Jogjakarta. Banyak
perspektif baru yang aku dapatkan dari mereka, mengenai Indonesia, Sastra,
Islam, Nasrani dan masih banyak lagi. Ternyata memang benar, semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin
rendah hati dan sederhaha tutur bahasanya. Omong-omong, Pak Loy ini dulunya
adalah dosen Mas Bajang, jadilah obrolan kami semakin penuh nostalgia.
Bedah buku akhirnya
selesai dengan durasi sekitar 2 jam. Meskipun yang hadir sedikit, tapi kami
cukup senang karena dengan begitu diskusi bisa lebih intens. “Bagus kok mbak
Ita, terima kasih ya.” Ucap Pak Yoseph. Aku tahu kalimat itu sangat sederhana,
tapi buatku sendiri kalimat sesederhana itu adalah bentuk apresiasi yang tak
terkira. “Wah sudah semester akhir ya?
Semangat ya, semoga nanti lulus bisa nerbitin buku banyak orang seperti Mas
Bajang.” Aku aminkan doa Pak Loy, semoga ya Pak! Buku dengan tanda tangan
penulis serta pembedah ini di tambah bolpoin pemberian langsung dari Pak Yoseph
menambah suka cita malam itu. Terima kasih ya Bapak-Bapak dan Mas-Mas atas
wejangan dan semangatnya, semoga lain waktu kita dapat bersua lagi.
Kommentare
Kommentar veröffentlichen