Sebelum Akhirnya di Sini


Perjalanan ini dimulai lebih cepat dari yang seharusnya. Aku ingat betul bagaimana bingung dan amburadulnya aku di malam hari tanggal 15 Desember 2020. Mengantongi surat hasil rapid tes aku niatkan untuk reschedule tiket penerbangan ke Bali yang semula 21 Desember menjadi 16 Desember. Tidak tahu nanti bagaimana 5 hari di sana, akan tinggal di mana dan makan apa. Semua kosong. Aku tahu aku tidak bisa bergantung pada siapapun, malam itu kuputuskan dan kuputuskan sendiri. Syukur Alhamdulillah semua dilancarkan. Kutenangkan juga orang tua yang khawatir tentang anaknya nanti di kota orang di tengah wabah pandemi sendirian, yang hanya mengantongi beberapa ratus ribu saja.

Malam itu, ku kemasi semua barang-barangku sendirian sambil ditemani ibu dan ayah yang juga sibuk mengemasi jamu, obat-obatan, dan segala perintilan kesehatan, yang tentunya sering aku abaikan. Situasi itu benar-benar bukan situasi yang aku inginkan.

Besok paginya aku bangun dengan semua barang yang sudah siap. Satu koper, satu tas ransel punya Dito, dan satu tas bulat bertali. Oh, satu tas lagi warna merah andalanku yang aku masukkan dalam koper. Tidak senang dan tidak sedih, pagi itu aku berangkat dengan tersenyum. Dilepas oleh banyak anggota keluarga, seperti biasanya membuatku terenyuh betapa seharusnya aku bersyukur memiliki semua orang yang menyayangiku. Satu hal lagi yang membuatku ingin menangis saat itu adalah secara diam-diam ayah meletakkan lima lembar uang seratus ribuan ke dalam dompetku. Aku paham betul apa yang mereka khawatirkan tentang aku.

Sebetulnya aku jarang sekali melakukan perjalanan jauh sendirian, apalagi dengan barang bawaan banyak. Cukup buta untuk aku karena ini kali pertama naik pesawat dan tidak sesuai rencana. Bagaimana tidak, Ammar yang akan mengantarku ternyata harus bekerja di luar kota, dan sama sekali tidak bisa menghubungiku. Aku pasrah saja dengan semua yang terjadi, aku hanya berdoa untuk dihindarkan dengan orang jahat dan dipertemukan dengan orang baik. Sudah, hanya itu. Lagi-lagi aku bersyukur, aku teringat satu nama: Zaza dan dengan sigap ia menghubungiku. Tidak banyak nama yang aku ingat saat-saat genting. Namun aku bersyukur Zaza bisa menemaniku sepanjang perjalanan tentu saja via telepon.

Aku sampai di Bali sekitar pukul 17 WITA. Sedap-sedap bahagia yah naik pesawat untuk pertama kali. Alhamdulillah sampai dengan selamat tak kurang suatu apapun. Dan Alhamdulillahnya lagi aku banyak dipertemukan dengan orang-orang baik selama di Bali. Salah duanya dengan ibu pemilik penginapan dan Mei, anak Jakarta yang menjadi teman patungan selama jalan-jalan di Bali.

Waktu main-main sama Mei ya gitu-gitu aja sih, seperti pada umumnya. Engga banyak cerita spesial karena kesukaan kita berbeda. Kebanyakan hanya main di sekitaran Kuta, Legian, dan Seminyak. Ada sih sisi kurang klopnya, tapi menurutku itu wajar. Setelah empat hari tiga malam kita main-main bareng, akhirnya di 20 Desember kami berpisah. Aku ke tempat Kira dan Mei bertemu temannya. Makasih, ya, Mei, meskipun akhirnya duitku habis lebih cepat tapi aku tidak menyesal bisa jalan-jalan ada temannya. Meskipun sedikit merasa bersalah sama ayah karena duitnya aku pakai main-main, tapi nanti aku pasti ganti, Yah! Hehe..

 

packing dadakan sebelum tidur

menumpangi bis damri menuju bandara, ngobrol dengan pak sopir tentang keluarganya.

musholla di bandara

validasi rapid tes di bandara, satu hal yang baru bagi semua orang di dunia.




Kommentare