Gerimis sore ini menjadi pertanda dimulainya musim
hujan tahun ini. Suara gemericik air jatuh dari paralon depan rumah terdengar
jelas di telinga Arini. Ia duduk di kursi tamu tak jauh dari teras rumah.
Dipegangnya sebuah mug berbentuk bola dengan teh yang tak lagi panas.
Tatapannya sembilu, melihat langit di luar sana yang mendung sedari siang tadi.
Ruangan 4x4 meter itu cukup gelap padahal jam dinding masih menunjukkan pukul
16.30. Rupanya mendung di luar membuat ruang tamu ini ikutan gelap.
Arini lalu berjalan ke sisi kiri tempat duduknya.
Menekan saklar lampu agar ruangan itu kembali terang. Ia kembali duduk namun di
kursi yang berbeda. Meninggalkan mug di sisi meja kaca di samping tempat
duduknya tadi. Sambil menikmati suara hujan, ia raih majalah yang tersusun rapi
di rak bawah meja. Ia buka lembar demi lembarnya, tidak ada yang menarik
hatinya namun tetap saja ia lakukan.
_____
"Mamaaaa.... Aku pulanggg"
"Maaa.. Mama di manaa?"
Andi berlari kecil menuju pintu belakang. Sambil
menutupi kepalanya dengan selembar map plastik tipis ia celingukan mencari
perempuan penghuni rumah itu. Hujan sejak sore tadi tak kunjung reda, memaksa
pemuda ini nekat pulang dengan keadaan sedikit basah.
"Mama mana sih, kok gelap gini padahal udah jam 7
malem." Ia masih penasaran di manakah ibunya berada, tak biasanya lampu
rumah belum dinyalakan padahal langit sudah gelap. Sambil menuju ruang tengah,
ia pencet saklar lampu yang ia lewati.
"Jangan-jangan keluar, nih, Mama. Tapi kok gak
ngabarin, sih."
Awalnya ia hendak langsung menuju kamarnya. Namun
tiba-tiba ia belokkan langkah kakinya menuju satu kamar di ujung lantai dua.
Pintunya sedikit terbuka tak seperti biasanya. Ia buka pelan-pelan pintu itu
dengan satu tangannya. Tidak terkunci. Derit pintu yang khas tak menyurutkan
tangannya untuk membuka pintu lebih lebar. Sejenak ia terpaku menyadari apa
yang ia lihat. Seorang perempuan berambut pendek tengah duduk di tepi kasur
membelakanginya. Dialah ibunya yang sejak tadi dicarinya. Ia masih diam
mengamati apa yang perempuan itu sedang lakukan.
"Ma..." Andi memanggil perempuan itu pelan.
Namun lima detik berselang tak ada sahutan dari perempuan itu. Rupanya ibunya
tak sadar bahwa anak laki-laki kesayangannya telah tiba.
"Mama.." Kali ini Andi sedikit lantang
hingga ibunya menoleh dan sedikt kaget.
“Ah, Sayang.. sudah pulang?” Arini buru-buru
memasukkan benda yang dipegangnya ke bawah bantal. Ia tak mau anak laki-lakinya
tahu.
“Are you ok, Ma?
Tadi lampunya belum nyala semua, Andi kira mama keluar.” Ia berjalan mendekati
ibunya.
“Mmm.. Mama gapapa
kok. Tadi cuma kedinginan jadi Mama ke sini.”
Arini berusaha menenangkan anaknya. Ia mengusap lembut
rambut anaknya yang sedikit basah. Ia lupa bahwa ini adalah kali pertama ia
biarkan anak sematawayangnya memasuki kamar ini. Kamar ini adalah satu-satunya
kamar yang selalu rapat terkunci. Selama lebih dari 23 tahun tak ia biarkan anak lelaki kesayangannya memasuki kamar ini.
Andi memeluk ibunya hangat. Ia tahu ibunya sedang tak
baik-baik saja. Sembari berpelukan, matanya awas melihat sekeliling kamar itu.
Sebagian besar bernuansa pink, ada mural Barbie di dinding sebelah kiri lalu di sudut sebelah kanan berdiri sebuah
almari mungil berwarna putih tulang. Di atasnya duduk beberapa boneka dan
kotak musik klasik. Semuanya ciri khas perempuan. Ia bertanya dalam hati, kamar siapakah ini sebetulnya?
Matanya kemudian terpusat pada sebuah hiasan yang
menempel di dinding. Sebuah pigura bertuliskan “Amanda 1 month” disertai sepasang sepatu rajut yang tertempel di
dalamnya. Amanda? Siapakah Amanda?
Nama itu asing baginya. Tak pernah ia dengar nama itu
selama 23 tahun ia tinggal di rumah ini. Bahkan ketika Almarhum ayahnya masih
ada, tak pernah sekalipun ia dengar cerita tentang seorang bayi perempuan bernama Amanda.
Apakah Amanda kakakku?
Arini melepaskan pelukannya dan menatap kedua mata
anaknya dalam-dalam. Ia kini ingat bahwa ini adalah kali pertama anaknya masuk
kamar ini. Kamar yang selalu dikuncinya rapat-rapat. Kamar yang menyimpan semua
memori manis sekaligus duka di masa lalu. Ia mengelus pundak anak laki-lakinya
seakan paham atas kebingungan yang nampak di raut mukanya. Ia masih
menyusun kata-kata tepat ketika anaknya membuka mulut dan menanyakan sesuatu.
“Ma, apa yang selama ini aku gak tahu?”
Andi meraih kedua tangan ibunya, ia elus dan ciumi
tangan yang dingin itu. Rasa penasarannya besar, namun ia tahan kuat-kuat untuk
memberikan waktu pada ibunya bercerita.
Sedangkan di depannya, seorang perempuan yang telah berusia 50 tahun ini, tak sanggup menahan air matanya. Rasa bersalah tiba-tiba menyeruak, muncul ke permukaan setelah belasan tahun ia pendam. Ia tahu cepat atau lambat momen ini akan terjadi. Andi akan tahu dan memang harus tahu bahwa ia bukanlah anak kandungnya. Arini hanya tak siap, tak siap jika Andi marah atas semua kebohongan ini, ia takut jika ditinggalkan oleh anak yang dua puluh tiga tahun lalu ia adopsi, yang teramat ia sayangi. Apalagi jika ia sampai marah dan membenci ibu yang selama ini merawatnya dengan sepenuh hati.
“Maafkan Mama, Nak…” Hanya ucapan itu yang sanggup
keluar dari mulutnya. Ia masih terisak tenggelam dalam perasaannya sendiri.
“Siapa Amanda, Ma? Apakah dia kakakku? Mama dan
Almarhum Papa gak pernah cerita”. Andi berusaha mendapat jawaban atas rasa
penasarannya. Terlalu banyak pertanyaan di dalam otaknya, di sisi lain ia juga
tak tega melihat ibunya terus menangis.
“Ma, jawab, dong,
Ma.. kenapa selama ini kamar ini selalu terkunci? Kenapa anak mama sendiri
gak boleh masuk?” Ia benar-benar tak tahan untuk mendapat jawaban dari
semuanya, semua rahasia yang selama ini tersimpan rapi di belakangnya.
“Andi, anak Mama yang paling Mama sayang, Mama tahu
cepat atau lambat kamu akan tahu semuanya. Maafkan Mama yang selama ini enggak jujur sama kamu, bahkan sama
perasaan Mama sendiri. Selama ini apa yang kamu lihat adalah bukan sebenarnya
yang terjadi.” Arini mencoba menjelaskan semuanya pelan, sambil terisak ia coba
perlahan menata hatinya agar tak salah kata yang ia ucapkan.
“Hah? Apa maksud Mama? Andi gak ngerti..”
“Andi sebetulnya bukan anak kandung Mama….”
Tangis Arini seketika meledak. Ia benar-benar tak siap
untuk mengatakan kalimat ini pada lelaki di depannya. Sama halnya dengan Andi,
ia benar-benar tak siap mendengarkan kata-kata yang barusan diucapkan perempuan
yang selama ini dipanggilnya mama. Bagai petir yang menggelegar, ia merasa
dibohongi selama bertahun-tahun, belasan tahun, bahkan lebih dari dua puluh
tiga tahun. Ia ingin marah, ia sedih, ia bingung, ia masih tak percaya. Semua
perasaannya campur jadi satu. Tanpa sadar air matanya menetes di pipi, ia
bahkan tak sanggup melihat wajah perempuan di depannya. Ia membuang muka,
melepaskan genggaman tangan pada tangan ibunya dan terduduk di lantai.
“Kenapa Ma? Setelah 23 tahun?” Tanyanya lirih, rasanya
tak sanggup lagi ia mendengar apapun yang lebih buruk dari ini.
“Dulu, Mama dan almarhum Papa sangat bahagia ketika
mendapat kabar bahwa Mama hamil bayi perempuan. Kami menunggu sampai 7 tahun momen
membahagiakan itu datang. Kami namai dia Amanda. Dia cantik sekali, kami
siapkan semuanya dengan spesial, termasuk kamar ini serta seluruh isinya. Tapi
kebahagiaan kami gak lama, setelah Amanda umur 1,5 bulan tiba-tiba ia demam
tinggi dan meninggal setelah beberapa hari di rumah sakit. Kami sedih sekali,
tapi Mama yang paling terpukul. Belum sembuh luka bekas jahitan sesar tapi bayi
Mama sudah tiada. Lalu kemudian Papamu datang membawamu, bayi laki-laki sehat
dan menggemaskan. Lalu kami membesarkan kamu dengan rasa saya sayang yang sama
besarnya dengan bayi perempuan Mama.”
“Jadi kamar ini…”
“Iya, kamar ini adalah saksi semua peristiwa itu.
Semua kebahagiaan sekaligus kesedihan Mama ada di sini. Sampai sekarang Mama
masih sedih jika ingat semuanya, bukannya Mama tidak ikhlas, tapi semua
kenangan di kamar ini terlalu berat. Maka almarhum Papamu yang mengunci kamar
ini supaya Mama gak sedih lagi. Ia sembunyikan kuncinya selama bertahun-tahun
hingga tahun lalu ketika akhirnya Papa meninggalkan kita, Mama menemukan
kuncinya di laci meja kerjanya. Sesekali Mama ke sini jika rindu putri Mama…”
“Kenapa Mama tetep
mendem semuanya, Ma? Kenapa Mama gak
jujur sama aku kalau aku ini bukan anak kandung? Terus siapa Mamaku yang sebetulnya?” Kali ini Andi benar-benar tak
tahan untuk tak meninggikan suaranya. Suaranya bergetar, masih tak bisa ia
percayai semua ini.
“Mama takut kehilangan kamu, Sayang. Mama gak mau
kehilangan anak Mama untuk kedua kalinya….”
“Ma.. Mama seharusnya gak bohong sama Andi, karena Andi berhak tau sejujurnya. Dua puluh tiga tahun Andi menahan rasa penasaran atas kamar ini, di tambah setahun belakangan sejak sikap Mama berubah!”
Ia
benar-benar kalut, ia tak punya kendali atas semua perasaan dan ucapannya. Ia
tahu betul Mamanya sangat menyayanginya layaknya anak kandung, namun ia juga
tidak bisa terima atas kebohongan yang selama ini ada di antara mereka. Air
matanya masih terus menetes, begitu pula air mata perempuan di depannya.
Ia tak tahu lagi harus bagaimana dan apa yang hendak
ia katakan. Untuk kembali menatap mata perempuan di depannya saja ia tak kuasa.
Masih dengan linangan air mata ia memutuskan untuk berdiri dan keluar dari
kamar itu. Ia biarkan perempuan yang amat disayanginya itu sendirian, dengan
tangisan yang semakin keras.
Kommentare
Kommentar veröffentlichen