Dear Diary…
Hari ini hari Senin, aku harus pergi
ke sekolah. Tapi aku malas berangkat sekolah, pasti nanti Rama dan
teman-temannya menggodaku lagi. Aku benci sama mereka. Aku gak tau apa yang
membuat mereka suka sekali mengerjaiku. Minggu lalu saat hari Jumat, mereka
dengan sengaja menempelkan permen karet bekas di rokku. Aku ingin melawan, tapi
aku selalu tidak berani ketika mereka ada di depanku L….
“Mikhaaaa
tolong beliin bawang goreng di warung Bu Kosim, yaa!” Suara Mama tiba-tiba
terdengar dari dapur. Cukup nyaring karena Mikha tak pernah menutup pintu
kamarnya, bahkan ketika sedang belajar atau menulis.
“Iyaaaa
Maaaa…” Jawab Mikha tak kalah kencangnya.
….eh Mama manggil tuh, nanti aku
cerita lagi, ya..
Dengan
cepat ia tutup diary kesayangannya. Diary warna kuning bermotif pokadot pemberian
sahabatnya, Naya, di ulang tahunnya ke 17. Bolpoin warna-warni selalu ia
selipkan di dalamnya. Sejak kepindahannya ke kota ini, Mikha tak punya teman
sama sekali. Terpisah ruang dan waktu dengan Naya membuatnya semakin kesepian
di sekolah.
Pada
dasarnya Mikha bukanlah anak yang pendiam. Ia hanya terlalu malas untuk
bersosial dan membicarakan hal yang tidak penting. Hal ini membuat teman-temannya
mengira bahwa ia adalah anak yang pendiam.
-------------------
“Hei,
anak baru, yah? Kenalan, dong!”
“………”
Seorang
anak laki-laki bertubuh tambun tiba-tiba datang menghampiri Mikha. Mikha yang
berdiri di dekat tiang terpaksa harus mundur dua langkah hingga badannya
menempel pada dinding kelas akibat tubuh gemuk Rama. Ia diam saja tak menjawab.
“Hei,
siapa namamu? Ngomong, dong!”
Rama
mendesaknya lagi agar Mikha mau mengeluarkan suara. Namun Mikha tetap diam,
malas ia meladeni anak yang terkenal nakal di sekolah ini. Sebagai anak baru
penting baginya untuk tidak membuat keributan dan merusak nama baiknya.
Dari
kejauhan ia lihat Pak Beno -sopir becak yang dibayar Mama untuk
mengantarjemputnya- telah tiba. Ia gunakan kesempatan itu untuk lari menghindar
dari Rama. Ia lari kencang dan sesampainya di dalam becak ia merasa aman.
“Woy,
jangan lari kamu! Heiiiii….! Hrrghhhh!”
Sementara
di tempat tadi Rama masih berdiri dengan badannya kini memutar membelakangi
dinding. Ia hanya melihat Mikha berlari menjauhinya menuju becak tanpa menjawab
pertanyaannya sama sekali. Ia geram, baru kali ini ada anak baru yang
mengacuhkannya. Hal ini tadi semakin membuatnya penasaran terhadap Mikha.
--------------------
Kejadian
di sekolah tempo hari adalah awal mula dari hari-hari penuh ketakutan yang
dirasakan Mikha. Sudah 5 bulan berlalu namun ia masih merasakan satu hal yang
sama setiap hendak pergi ke sekolah: takut. Bukan takut karena tak bisa juara
kelas atau takut tak berprestasi, namun satu-satunya hal yang membuatnya takut
adalah bertemu dengan Rama. Bagaimana tidak, hampir setiap hari anak nakal ini
selalu mengganggunya. Bahkan ia tak sendiri, Rama juga mengajak teman-teman
satu gengnya untuk menjebak dan menjaili Mikha.
If
you love somebody could we be this strong?
I
will fight to win, our love will conquer all
Wouldn’t
risk my love
Even
just one nigh….
Lagu yang didengarkannya melalui headset tiba-tiba berhenti disusul dengan
ditariknya dengan paksa headset dari kedua
telinganya.
“Awww!!” Hanya rintihan itu yang
keluar dari bibirnya. Beberapa detik kemudian ia baru sadar siapa yang
melakukan itu padanya. Alisnya berkerut masing-masing saling bertabrakan dan
matanya tajam menatap mata seorang anak laki-laki gendut yang berdiri di
depannya. Ia tak terima, ia ingin marah. Secara bersamaan hatinya juga dag dig
dug dan kakinya gemetar.
Ngapain
lagi, sih, anak ini. Pasti mau minta duit lagi…
“Hei bagi duit!”
Nah
kan bener. Aduh gimana ini….
“Ga ada duit!”
Mikha dan Rama sempat beradu pandang
sampai akhirnya Mikha memilih menunduk dan berkonsenterasi pada headset yang hampir putus akibat tarikan
Rama. Ia coba keluarkan sedikit keberaniannya untuk melawan. Ia lelah selama
berbulan-bulan menjadi sasaran Rama.
“Bagi duit, nggak!” Kali ini tak hanya Rama yang berbicara. Edo, yang terkenal
sama garangnya dengan Rama, berbicara dengan nada meninggi disertai jambakan
pada rambutnya.
“Enggak punya!” Suara Mikha semakin
bergetar. Ia sedikit meringis karena jambakan yang semakin kencang. Ingin
sekali ia menangis tapi ditahannya. Ia tak mau melihat Rama dan teman-temannya
bersorak karena berhasil membuatnya menangis dan ketakutan.
“Heleehhh
geledah ajalah tasnya!” Beberapa laki-laki lain kemudian menyahut. Tanpa
basa-basi mereka membuka tas Mikha yang tergeletak di sampingnya. Mereka
membuka satu persatu resleting dan mengeluarkan semua isi tasnya. Mikha
berusaha menahannya. Ia berteriak kencang untuk meminta tolong, namun sayang
saat itu sama sekali tak ada orang yang melintas. Rama sungguh pintar memilih timing yang pas agar aksinya tak
diketahui orang.
Rama kemudian mendekatkan wajahnya
pada wajah Mikha dan berusaha menciumnya. Sebetulnya ia sudah lama memiliki perasaan
suka namun perasaan itu selalu tertutupi oleh rasa marah karena Mikha selalu
mengacuhkannya. Ia juga tak mau Mikha tau tentang perasaannya yang sebetulnya
karena ia takut Mikha akan berani melawan.
Tak terbendung lagi air matanya. Mikha
menangis sejadi-jadinya. Masih merintih kesakitan karena jambakan tadi, ia
tutupi wajahnya agar Rama tak dapat menyentuh atau menciumnya. Dalam hatinya ia
hanya berdoa agar mendapat pertolongan sehingga ia bisa kabur dari sana.
“Heyyyyyyy ngapain kalian!!!!???!!
Lepasin anak itu!”
Rama dan teman-temannya celingukan
mendengar suara itu dari kejauhan. Tak tahu suara siapakah itu namun yang pasti
mereka semua ketakutan. Mereka akhirnya melepaskan Mikha dan kabur. Mereka
membiarkan Mikha di sana sendirian menangis tersedu-sedu.
---------------
Dear Diary…..
Hari
ini Rama dan teman-temannya berulah lagi. Ia bahkan berani melakukan aksi yang
benar-benar keterlaluan. Ia mau menciumku!
Mikha tak sanggup menahan kesedihannya
membayangkan apa yang terjadi tadi sore. Ia menangis sesenggukan, menutup wajahnya
dengan kedua tangannya. Hatinya benar-benar sakit, marah, tak terima, semua
menjadi satu. Lama ia beradu dengan perasaannya sendiri. Kali ini, ketakutan
sekaligus kemarahannya telah memuncak. Ia kumpulkan lagi kekuatan pada
tangannya untuk kembali menulis.
Aku
rasa mereka telah menjadikanku sebuah objek, terutama Rama! Aku mungkin masih
bisa tahan ketika mereka memalakku, mereka tempelkan permen karet pada
seragamku, mereka buang bukuku di lumpur. Tapi aku benar-benar tak bisa tahan
ketika dia mulai tertarik untuk menyentuh tubuhku, bahkan ingin menciumku!
Huhuhu.. apa yang harus aku lakukannnn….
Kembali ia letakkan bolpoin
warna-warni di atas bukunya. Kali ini benar-benar di ubun-ubun kemarahannya. Ia
tak kuasa merasakan semua perasaan yang ada di dalam hatinya. Lalu ia letakkan
kepalanya di atas diary nya. Kini wajah itu tertutupi sepenuhnya oleh buku
diary. Ia pejamkan matanya untuk sejenak mengatur lagi amarahnya. Tanpa sadar
ia tertidur dan hanyut ke dalam alam mimpi.
-----------------
“Hei Mikha….”
“Siapa kamu?”
“Aku adalah kamu yang sesungguhnya.”
“Hah? apa maksud kamu?”
“Aku datang hendak memberitahukanmu
sesuatu. Kau harus berhenti menjadi penakut, kau harus berhenti menjadi
pendiam. Kau tahu kau pemberani, bukan? Maka lakukanlah itu sekarang. Lawanlah
jika ada yang bertindak semaunya terhadapmu. Lawanlah… kau beraniii…kau
pemberani…”
Mikha terbangun dengan posisi kepala
sedikit pusing. Ia mencoba berpikir atas apa yang barusan terjadi. Siapa dia yang berbicara padaku? Kenapa
wajah dan suaranya amat mirip denganku….
Ia masih berupaya mencerna kata-kata
yang diucapkan perempuan yang mirip dirinya tadi di mimpi. Dua kata yang
terngiang-ngiang di kepalanya, lawan dan
berani..
Ia lalu membaca tulisan terakhirnya.
Ia kini ingat sepenuhnya, ia sedang bercerita pada buku diary nya hingga
kemudian ia tertidur pulas dan bermimpi. Kemudian matanya menuju sebuah tulisan
di baris paling bawah:
Kau
pemberani, lawanlah mereka yang selama ini bertindak kasar padamu..
Ia tak merasa menulis kalimat itu. Sekitar beberapa menit ia berpikir dan kembali teringat pada ucapan seorang gadis tadi di mimpinya. Secara tak sadar tangannya mengepal, otaknya dipenuhi dengan keberanian yang berkali-kali lipat. Pikirannya melayang pada anak-anak nakal itu. Ia bertekad ia tak mau lagi ditindas oleh mereka. Ia tak mau lagi diremehkan dan dijadikan korban atas segala tindak buruk mereka.
Mikha tersenyum simpul membayangkan
apa yang akan ia lakukan pada Rama dan teman-temannya. Sekali lagi ia melihat
tulisan terakhir pada buku diary nya dan ia berjanji akan jadi Mikha yang
pemberani.
Kommentare
Kommentar veröffentlichen