“bip…bip…bip…bip” suara weker
mungil abu-abu sedari lima menit lalu tak henti berbunyi. Malah semakin lantang,
menandakan si empunya tak segera sadar dari tidur nyenyaknya. Tak butuh waktu lama, Jen akhirnya terbangun.
Namun bukannya segera meraih weker dan mematikannya, ia justru beringsut ke
dalam selimut. Kesal setengah mengantuk karena hari ini cepat datang.
“Ahhrgghhh…” jemarinya berusaha
keras meraih weker yang ada di meja segiempat samping ranjangnya. Matanya
menyipit sambil mengumpulkan nyawanya yang sebagian masih tertinggal di alam
mimpi.
“tit” “braakk!” bunyi weker
sekaligus bunyi lemparan tubuhnya kembali ke kasur. Kali ini matanya sudah
sepenuhnya terbuka, begitu pula dengan kesadarannya. Masih sedikit pusing
akibat begadang semalam karena insomnia. Namun ia tahu ini bukan alasan untuk
tak beranjak dari tempat tidur.
Hari ini hari sabtu, hari yang
ditunggu alias weekend. Sigap ia raih
ponsel di bawah bantal dan membuka aplikasi Calender
yang muncul di layar depan. Sepersekian
detik kemudian ia sadar ini hanyalah hari sabtu biasa. Tidak ada agenda, tidak
ada janji, tidak ada pertemuan. Enam bulan terakhir ini tak pernah ia lihat
kalendernya berwarna. Mungkin ada, warna merah karena hari libur nasional dan
cuti bersama. Tidak spesial.
“Halo…..Jen, hari ini free gak? Keluar yuk!” Terdengar suara
seorang perempuan dari telefon. Sahabat sekaligus partner kerjanya, Amira, tak
pernah bosan menanyakan hal yang sama pada Jeanitta, meski ia tahu jawaban apa
yang akan ia peroleh.
“Males.” Jawabnya ketus dibarengi
gerakan tangannya mematikan telefon.
Meski ia tinggal di kota kecil
yang berbatasan dengan Solo, tak pernah sekalipun muncul di benaknya untuk meninggalkan kota ini. Jeanitta
lahir dan besar di Jakarta, maka sebuah keputusan besar ketika ia harus pindah
ke Tawangmangu sejak 2 tahun lalu. Meninggalkan
keluarga, fasilitas, serta mimpi jadi seorang pilot yang ia rajut sedari kecil.
Namun ia tidak pernah menyesali keputusan kepindahannya, karena ia tahu betul
apa yang menariknya ke kota kecil di tengah Pulau Jawa ini.
Atsiri -kekayaan Indonesia sejak jaman Belanda yang sampai sekarang belum banyak dilirik- yang telah jadi magnet dan menariknya ke sini. Ia ingat betul bagaimana tiga tahun lalu ada rekannya yang terlibat dalam sebuah ekspedisi di Tawangmangu. Herdi namanya, pemuda asli Tawangmangu yang berkuliah di Jakarta, menawarinya untuk ikut terjun langsung meski ia tahu Jeanitta tak punya latar belakang keilmuan sama sekali mengenai satu komoditas ini. Tak berpikir panjang, Jen mengiyakan ajakan itu dan siapa sangka setahun setelahnya ia putuskan untuk pindah dan jadi warga lokal.
____________
“Besok ada mesin penyulingan baru
yang dateng dari Jerman, siap-siap yah!” Pesan singkat dari Herdi di suatu sore.
Begitulah ia, semangat dan well organized.
Paling tidak, dua karakter itu yang selalu diingat Jen tentang Herdi.
“Wokeh! Juru tulis siap berikan
yang terbaik! Emang jadwalnya jam berapa?” Jawab Jen tak kalah semangatnya. Ia
tidak bisa menyangkal, enam bulan menjalankan misi bersama Herdi membuat mereka
banyak tahu satu sama lain. Tidak ada ingar bingar kehidupan seperti di kota,
minim gemerlap hiburan dan keterbatasan di segala aspek membuat mereka dekat bukan hanya
sebagai partner kerja, melainkan juga partner perasaan.
Memang banyak pemuda seusianya
yang juga terlibat dalam proyek ini, namun rupanya hanya Herdi yang mampu mengisi
hatinya serta merangkap beberapa sosok sekaligus bagi Jen. Di matanya, Herdi
adalah teman, sahabat, abang, sekaligus mentor, yang dengannya seakan tidak
pernah ada keraguan. Bukan berarti tidak ada perselisihan, namun lebih kepada,
Herdi selalu bisa berkawan dengan ego dan keras kepalanya.
Hal ini pula yang membuatnya
yakin untuk pindah ke Tawangmangu dan memulai semuanya dari awal. Selain karena
jatuh cintanya pada Atsiri, tidak pernah ada yang tahu bahwa alasan lainnya adalah
karena jatuh cintanya pada sosok yang ia kenal lebih dekat di sini, Herdi.
____________
Setelah menutup telfon dari
Amira, kembali ia menenggelamkan diri dalam balutan selimut tebal yang hangat. Membiarkan
pikiran dan ingatannya berkelana pada hari-hari sabtu di masa itu, jauh
sebelum enam bulan yang lalu. Hari sabtu di mana ia dan Herdi selalu
menghabiskan hari untuk jalan-jalan ke luar Tawangmangu. Sederhana, berkendara
dengan motor matic abu-abu milik Herdi
yang lebih terlihat kehitaman karena jarang dicuci. Sederhana, mencari warteg
dan makan di pinggir sawah yang mereka lewati. Sesederhana Herdi membuat Jen
senang dan bersyukur atas hal-hal kecil yang ia miliki.
Ia tidak sadar kalau ia telah
menangis sesenggukan. Mengenang masa-masa itu, bahagia yang sederhana yang
selalu ia nantikan, namun kini tak lagi dapat ia lakukan. Sabtunya kini
berbeda, tepat sejak pesan singkat Herdi di suatu sore, tak lagi ada agenda
rutin di hari Sabtu. Sudah enam bulan, namun ia masih tak percaya percakapan
singkat di Whatsapp tentang mesin penyulingan sore itu menjadi percakapan
terakhirnya bersama Herdi. Pertanyaannya yang bahkan tanpa balas, karena Herdi
menghembuskan nafas terakhirnya di sore itu akibat serangan jantung, dengan
ponsel masih di tangan dan belum sempat menjawab pertanyaannya.
Kommentare
Kommentar veröffentlichen