Sesalku

 

“Selamat Malam, Ibu Sinta. Ini kuncinya, kamar 202 berada di ujung barat. Pagawai kami akan mengantar Ibu. Ada yang bisa kami bantu lagi, Ibu?”

“……”

“Ada yang bisa dibantu lagi, Ibu Sinta?”

“Ah..Eh.. Enggak mbak, makasih, ya.”

Sambil berjalan menuju kamar 202 Sinta masih menunjukkan wajah yang sama seperti saat di resepsionis. Lesu, tatapan kosong, dan putus asa. Ia berjalan sambil termenung, pikirannya melayang tak tentu arah.

Pegawai laki-laki yang sedari tadi menjelaskan banyak hal tentang fasilitas penginapan tak ia hiraukan. Seperti pegawai hotel kebanyakan, ia cukup gagah rupawan dengan balutan batik berwarna coklat kehitaman. Ia sebetulnya tahu bahwa tamunya satu ini sedang kalut. Panjang lebar ia menjelaskan sambil sedikit berkelakar tak didengarnya satu kata pun dari perempuan ini. Namun tak berani ia tanya lebih jauh, biarlah itu menjadi rahasianya sendiri.

“Sudah sampai, Ibu. Selamat beristirahat.”

Tanpa jawab, Subagyo pergi begitu saja. Menjalani profesi yang sudah 7 tahun ditekuninya ini ia seperti hafal karakter banyak orang. Kebanyakan orang datang ke Jogja ngapain lagi kalau bukan untuk menenangkan diri. Ada yang punya masalah rumah tangga, suntuk dengan pekerjaan, hingga buronan narkoba yang menyamar dan mencoba kabur. Jadi tidak heran jika hanya dengan mengantar beberapa menit saja ia tahu bahwa tamunya tadi sedang tidak baik-baik saja.

________

“Braaakkkk!” Sinta menjatuhkan tas ranselnya ke lantai kayu. Setelah menutup pintu kamar rapat-rapat ia rebahkan dirinya di atas kasur. Menengadahkan kepala sambil menggantungkan kedua kakinya di sisi dipan. Merentangkan kedua tangan sembari memandang lampu temaram tepat di atasnya. Ia mencoba mengatur nafas, merasakan segar udara malam Jogja yang masuk melalui lubang kecil di sudut ruangan.

Udara malam itu terasa dingin sekali. Sebuah penginapan yang terletak di kaki gunung merapi sengaja ia pilih supaya ia bisa benar-benar merasa tenang. Belum waktunya musim hujan, namun alunan suara kodok dan tenggeret saling bersahutan dari balik jendela. Ini kali pertama ia datang ke sini sendiri. Kali pertama juga untuknya pergi dari rumah sendirian.

Semakin gelap, semakin keras hewan-hewan kecil berbunyi. Ia lalu memejamkan kedua matanya pelan-pelan. Ia biarkan dirinya menyatu dengan apa yang ada saat itu. Merasakan dingin dan halusnya sprei, udara segar yang keluar masuk hidungnya, bebunyian yang memenuhi ruang dengarnya. Setidaknya hanya itu yang bisa ia praktikkan dari kelas Yoga bulan lalu. Tak berapa lama ia mulai nyaman dan tenggelam dalam malam syahdunya.

___________

“Buk, Mas Tedja kira-kira suka, ndak, ya buk sama konsep ini?”

“Kenapa kamu ndak tanya aja sama Mas mu itu. Kalo ibu, sih, yakin dia setuju-setuju aja sama kamu.”

Tak fotoin aja kali ya, buk.”

H-2 bulan menjelang pesta pernikahan Sinta dan Tedja. Meski tinggal sekota, mereka berdua tidak sering berjumpa karena padatnya kegiatan Tedja sebagai seorang peternak sapi perah. Hal itu sebetulnya tidak menjadi masalah bagi Sinta, karena ia telah lama berkecimpung di dunia Event Organizer sehingga segala sesuatunya bisa ia atur sendiri. Tentu tak luput dari bantuan ibunya yang ingin pernikahan anaknya dirayakan dalam balutan adat jawa.

“Mau kemana, nduk? Tadi katanya ndak mau ke mana-mana.” Refleks ibu menanyakan Sinta hendak ke mana karena dalam sekejap dilihatnya ia sudah cantik, rapi, dan wangi.

“Hehe, mau ke Mas Tedja, buk. Abisnya ndak bales-bales jadi aku samperin aja di peternakan.”

“Dasar calon nganten, ndak sabaran.”

“Pamit, buk. Assalamualaikum..”

“Waalaikumsalam, salamin ke Nak Tedja, ya, nduk.

Dengan mengendarai motor satu-satunya miliknya, Sinta menuju peternakan sapi milik keluarga Tedja. Tidak seberapa jauh, hanya sekitar 15 menit jika dikendarai dengan kecepatan 50 km/jam. Peternakan sapi juga menjadi salah satu tempat favorit Sinta, selain karena ia bisa memandangi sapi-sapi makan, pemandangan bukit hijau yang indah, juga ia bisa bertemu dan berbincang bebas dengan Tedja.

Tedja sendiri adalah anak satu-satunya dari pengusaha sukses Edy Hardiningrat. Sesuai dengan namanya, ayah dari Tedja ini adalah orang terkaya di Ponorogo. Hampir seluruh peternakan dan pekerbunan di Jawa Timur adalah miliknya. Kesohorannya bahkan terkenal di seantero nusantara. Sayangnya kesuksesan ini tidak dibarengi dengan perangai yang baik. Tidak sedikit orang yang menyebutnya sombong dan suka memandang rendah orang miskin.

Sinta bukannya tidak tahu soal ini, ia sudah sangat paham dengan karakter calon ayah mertuanya itu. Sejak pertama kali mereka berkenalan pada 3 tahun silam hingga kini, tak pernah luput sindiran yang ia dan keluarganya dapat. Keluarga Hardiningrat tentu berpikir kalau Sinta hanya mencintai Tedja karena uang. Bertahun-tahun pula Sinta berusaha membuktikan kalau anggapan tersebut salah. Pernah ia hampir menyerah, namun Tedja selalu menguatkannya.

Beruntung, Tedja tidak meniru perangai buruk ayahnya. Ia punya tutur kata yang lembut, santun, dan tidak pernah merendahkan manusia lainnya. Mungkin karakter baik yang ia miliki ini adalah warisan dari almarhumah ibunya.

Sekitar lima ratus meter dari tempatnya memarkir sepeda motor, Sinta melihat Tedja yang sedang berdiri menghadap kandang sapi paling besar. Setelah mencabut kunci motornya bergegas ia berlari menuju pacarnya itu. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat ia lihat Tedja tidak sendiri. Ada dua orang usia enam puluh tahunan berdiri tidak jauh dari tempat Tedja berdiri. Mereka terlihat berwibawa meski sudah nampak keriput di wajahnya. Sinta mengerutkan alisnya tanda konsenterasi dan menerka-nerka siapa mereka. Ketiga lelaki di ujung sana nampak membincangkan sesuatu hal yang serius. Tidak sekali Tedja menampakkan wajah kesal dan meletakkan tangannya di atas kepalanya. Belum sempat Sinta mendapat jawaban atas apa yang ia lihat, muncul seorang perempuan cantik membawa sebuah nampan berisi tiga cangkir minuman. Ia terlihat seksi dan menarik dengan balutan dress ketat warna merah. Rambutnya panjang sedikit bergelombang. Pertanyaan dalam benak Sinta menjadi berkali lipat tentang siapakah wanita itu. Tidak begitu jelas ia kenali detil wajahnya, namun sungguh terlihat gesture perempuan itu menggoda Tedja.

Di kejauhan Sinta merasa hatinya panas, matanya perih menyaksikan apa yang baru saja ia lihat. Ingin ia datangi perempuan itu dan menjambak keras rambut panjangnya, namun segera ia urungkan niat itu. Ia paham ini urusan pelik, dan dengan kehadirannya bisa saja bertambah pelik.

“Aaaarrhhhhh!! Bruakkkkk pyaaaarrrrr!!!!” Teriakan Tedja disusul dengan suara lemparan cangkir ke tanah.

Sinta terperanjat menyaksikan hal itu. Ia yang sedari tadi berdiri mematung di tempatnya tak kuasa menahan gemuruh di dadanya. Sepanjang hubungannya dengan Tedja, tak pernah sekalipun ia lihat laki-laki yang lembut perangainya itu berteriak bahkan sampai membanting benda.

“Apa-apaan semua ini, apa maksud Ayah? Aku sudah mau menikah dua bulan lagi!”

“Masih ada waktu untuk kamu batalkan semuanya. Perempuan yang kamu bangga-banggakan itu miskin, hanya butuh uangmu saja!”

“Berapa kali aku katakan, Sinta itu baik dan tulus. Justru dia ini yang hanya ingin mengeruk uang kita!”

“Plakkk!!” Tamparan mendarat dengan keras di pipi Tedja. Tamparan dari tangan bapak kepada anak sematawayangnya.

Sementara itu, Sinta masih berada di sana tidak bergeming. Kakinya gemetar, pikirannya kacau, tenggorokannya tercekat. Ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Ia kini tahu, siapa perempuan itu dan apa tujuannya. Rupanya itu adalah anak dan bapak, berasal dari keluarga yang sama kayanya dengan keluarga Hardiningrat, dan ingin menjodohkan tedja dengan perempuan itu.

Sinta tak kuasa menahan air matanya. Jatuh ia bersimpuh di dekat sepeda motornya. Ia tahu benar calon suaminya pasti menolak perjodohan itu, namun ia benar-benar tidak menyangka keluarga Hardiningrat sebegitu tidak setujunya dengan hubungannya bersama Tedja. Padahal ia tahu persis ayah Tedja telah memberikan restu pada mereka. Ia tidak menyangka bahwa itu adalah isapan jempol belaka. Diam-diam ayahnya mencarikan perempuan lain yang sepadan hartanya untuk menjadi pendamping Tedja. Kali ini ia benar-benar merasa cukup. Cukup untuk dipandang rendah, cukup untuk dipandang miskin. Kali ini tidak mau lagi ia biarkan keluarganya dihinakan, hanya karena status sosial yang tidak sepadan dengan keluarga Hardiningrat.

Ia coba kumpulkan seluruh tenaga yang bersisa untuk bangkit. Ia buang semua hayalan akan bahagianya pernikahan dan indahnya pesta perkawinan dengan dibalut adat jawa seperti yang ibunya mimpikan. Satu-satunya hal yang ia ingin lakukan sekarang adalah pulang dan bersimpuh di kaki ibunya. Ibu yang selama ini selalu ada untuknya meski selalu menjadi sasaran penghinaan keluarga Tedja. Ia hapus air matanya dengan siku kirinya lalu diraihnya kunci motor dan dinyalakannya sepeda motor itu. Ia melaju kencang bahkan tiga kali lebih cepat dari saat berangkat tadi.

“Ngrrrngg ngrrrrnggggg bbbraakkk!”

Deru motor berhenti tepat di depan pagar bercat putih. Ibu tahu putrinya telah datang, namun firasatnya sungguhlah tak enak.

“Ibuuukkkkkk……” Ada panggilan setengah berteriak dari pintu depan. Suaranya keras namun sedikit gemetar, tergopoh ia tinggalkan cucian di halaman belakang, menghambur ke depan rumah.

“Ada apa to, nduk? Tadi ketemu Mas Tedja, toh?

“Ibuukkk, maafin Sinta, ya, buk. Sinta ndak nurut sama Ibukk.”

Gadis dua puluh enam tahun ini terisak dan malah semakin kencang. Ingin ia ceritakan semuanya tapi hatinya terlalu sakit mengingat kejadian di peternakan tadi. Ia menciumi kedua kaki ibunya, merasa bersalah atas apa yang terjadi selama ia menjalin hubungan dengan Tedja, bersalah karena ibunya selalu dituduh dan dihina.

Ana apa, toh, Sin. Ibu ndak paham e. Coba kamu duduk dulu terus cerita pelan-pelan.” Ibunya ikut panik atas apa yang terjadi pada anaknya. Namun selayaknya seorang ibu, ia berusaha tenang dan memberikan ruang ternyaman untuk Sinta.

“Buk, bener kata Ibuk. Ayahnya Mas Tedja ndak pernah setuju sama pernikahanku dengan Mas Tedja. Aku tadi lihat dia jodohin Mas Tedja sama anak pengusaha kaya juga. Pas di depan mataku, buk.” Isaknya semakin menjadi-jadi, benar-benar di ambang batas ketahanan perasaannya.

Ibu tahu benar apa yang dirasakan Sinta. Cepat atau lambat Sinta akan mengetahui semuanya, namun ia tidak menyangka akan secepat ini, bahkan sebelum pernikahan berlangsung. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk mereka berdua, pikirnya. Ia tidak mau sedikitpun ikut campur atas masalah yang dihadapi anaknya. Ia hanya berusaha mendoakan yang terbaik dan menyediakan pelukan agar Sinta dapat mengadu dan bersandar.

_________

“Kkuuukuruyukkkkkkk….. Kkuuukuruyukkkkkkk…” Suara ayam berkokok samar-samar memenuhi ruang dengarnya. Jendela kamarnya berderit tanda udara memaksa masuk melalui celah-celah kayu. Sinar matahari belum muncul sempurna, namun sinar hangatnya pelan-pelan menembus ventilasi kamarnya seakan menjadi pertanda bahwa pagi ini cerah sekali.

Sinta mulai bergeming, membuka matanya pelan-pelan sambil merasai linu di seluruh badannya. Bagaimana tidak, ia tertidur dengan posisi kaki masih menggantung di pinggir dipan. Bahkan gawainya masih ia pegang. Sejenak ia berpikir tentang apa yang telah terjadi belakangan sehingga ia bisa berada di sini. Satu hal yang pasti ia ingat adalah percakapannya dengan ibunya selepas ia pergi ke peternakan. Seketika itu rasa bersalahnya kembali menyeruak, rasa bersalah terhadap ibu yang amat dicintainya, rasa bersalah karena telah meletakkannya di posisi tersulit, rasa bersalah karena telah membiarkan ibunya dihina dan dicemooh keluarga Hardiningrat hanya karena demi mempertahankan hubungannya bersama Tedja.

 

Kommentare