Tidak ada sedikitpun rasa
penasaran saat pertama kali Ammar mengucap nama tempat ini. Bahkan saat ia
ngeyel untuk tetap berangkat meskipun hari sudah menjelang petang. Saya sendiri
sih sudah pasti ayo-ayo aja kalau ia sudah berkehendak. Karena pasti bukan
sembarang tempat jika seorang Ammar sampai ngotot buat datang. Dan benar saja, Jalan Gula ini
memang bukan sekedar nama. Hal pertama yang bikin saya kepo adalah tempatnya
yang njelimet, masuk gang-gang kecil.
Padahal Jalan Gula ini cuma sebuah jalan kecil, sempit, tapi kok ya hits amat,
keluh saya dalam hati (dalam hati aja jangan diucapin, hehe).
Bukan Ammar kalo
gak berhasil nemu dan menginjakkan kaki di tempatnya. Kami datang dengan hanya bermodalkan
google maps, meskipun sedikit ribet karena pakai motor dan banyak jalan searah. Jalan Teh, Jalan Kopi, Jalan
Karet adalah beberapa jalan yang justru kami temui terlebih dahulu sebelum Jalan Gula.
“Nama
jalannya gini semua, dulunya jadi gudang hasil perkebunan apa, yak?” saya makin
kepo.
“Bisa jadi,” hmm doi malah merespons biasa aja
wkwk.
“Nanti tak tunjukkin pasarnya,
ya.” Lagi-lagi ajakannya bikin saya bertanya-tanya, apa sih spesialnya pasar
ini? Dan tentu saja, I just keep it
secretly.
Konon dulunya di sini berdiri pabrik tembakau. Jadi kegiatan warga sudah pasti tidak jauh-jauh dari aktivitas pabrik tersebut. Kalau saya menilai, sih, bisa jadi bukan hanya pabrik tembakau, ya. Dilihat dari namanya, tempat ini kemungkinan menjadi pusat perdagangan hasil perkebunan. Tidak heran juga ada ada House of Sampoerna (pabrik rokoknya masih beroperasi sampai sekarang). Ini analisis asal-asalan saya saja, sih, tapi cukup masuk akal juga, kan?
Jalan-jalan menelusuri kota tua
memang paling enak sambil jalan kaki. Mendongakkan kepala membiarkan
mata melihat liar setiap bangunan yang ada sembari tetap fokus mendengarkan
cerita si storyteller. Ya siapa lagi kalau bukan Ammar, wkwk. Kami masuk ke kampung-kampung
kecil dekat situ. Sedikit berbeda dengan kampung biasanya, dalam gang kecil ini
tidak banyak keluarga yang masih bertahan. Mayoritas yang kami temui adalah
mereka yang usianya lebih dari setengah abad. Aroma di dalam gang itu khas, kalau saya coba
ingat lagi mungkin lebih ke arah lembap, dan sedikit pengap. Bau sejarah kalau saya
bilang. Oh ya, rumah-rumah di dalamnya besar-besar khas jaman Belanda, tidak
berubah. Sebagian besar dialihfungsikan jadi gudang dan pertokoan. Ada satu
gang menyerupai pertokoan dengan jenis barang dagangan yang sama, yaitu kain atau tekstil.
Lebih banyak sih perlengkapan orang muslim, seperti mukenah, sajadah, kerudung,
dan sebagainya. Di sisi yang lain juga ada pertokoan dengan barang dagangan yang lebih random,
alat-alat listrik, tepung, bahan sembako, dan masih banyak lagi.
Kami berdua menikmati aroma dan
suasana di sana, termasuk cara orang-orang setempat melihat kami. Saya pikir
itu wajar, siapa pun kalau ada orang tak dikenal masuk ke lingkungannya pasti was-was
dan curiga. Jadi saya biarkan saja mereka menatap kami tak ramah. Saya cuma senyum,
tapi sepertinya Ammar risih dilihatin begitu, hehe.
Dalam lorong-lorong kecil nan
pengap ini saya tak banyak ambil gambar. Saya terlalu sibuk mengagumi kehidupan
orang-orang di sini. Hampir tidak ada tawa anak kecil atau umpatan para remaja.
Mungkin remajanya sedang sibuk mencari penghidupan di pusat kota atau di tempat lain sambil membawa
serta anak istrinya. Memang kalau diperhatikan lorong-lorong kecil ini tidak
menjanjikan sesuatu yang besar kecuali bisnis perdagangan dan logistik, itupun kalau sudah
dirintis sejak lama. Bisa jadi itulah yang membuat orang-orang di sini tetap
bertahan di tempat ini selain tentunya kepemilikan lahan dan ehm.. kenangan.
“Nyari apa, Mas?” Tawaran bantuan
ini terasa sedikit menginterogasi.
“Ndak, Pak. Jalan-jalan aja,” jawab
Ammar sambil melipir ke luar gang.
Yang paling saya sukai ketika
wisata sejarah macam begini adalah imajinasi yang seketika jadi liar. Saya suka
membayangkan kehidupan puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Seperti
misalnya, di tempat yang saya pijak ini dulunya dibuat apa, ya? Di rumah gedong
itu dulunya siapa ya pemiliknya? Tentu sambil membayangkan kalau saya hidup di
jaman yang sama dengan orang-orang yang tadi saya bayangkan.
Keluar dari gang, seperti
janji, Ammar ngajak saya masuk ke pasar. Pasar Pabean namanya. Tapi sebelum
itu, saya tiba-tiba fokus sama sebuah gedung di persimpangan jalan, tepat di
sisi perempatan menuju ke pasar. Sekilas tidak ada yang spesial, kecuali bagian
atasnya kalau tidak salah bertuliskan angka 18… (saya lupa berapa angka dua
digit terakhir, hehe), koreksi, ya, kalau saya salah. Di sini lagi-lagi saya tidak sempat mengabadikannya.
“Kenapa ya orang dulu suka sekali
nulis tanggal kalau bikin rumah atau lagi ngerenovasi, kok sekarang rasanya gak
kepikiran, deh.”
“Iya juga ya, dulu aku pun gitu.
Cat pager aja tanggalnya ditulis segala..”
.....
Lumayan lama kami ngobrol soal
ini. Ingatan saya jadi mundur belasan tahun silam. Dulu, waktu masih 7 tahunan
usia saya dan Mbah (nenek dari pihak ayah) masih hidup, setiap bikin ubin baru pasti beliau suruh saya
nulis tanggalnya. Saya masih ingat sekali, jaman dulu keramik masih mahal.
Lantai rumah Mbah (yang gede dan tampilannya mirip seperti rumah di
lorong-lorong tadi) semuanya masih pakai semen. Kalau udah cuil alias rusak, harus ditimpa lagi pakai semen. Tanggal pembaruannya juga tidak lupa ditulis. Mengganti ubin adalah cara sederhana kami untuk membuat dan mengingat sejarah.
Orang-orang dulu suka sekali meninggalkan jejak. Itulah kesimpulan kami. Karena memang penting untuk punya sesuatu yang bisa diingat, bisa dikenang. Menulis tanggal misalnya. Lalu kenapa bisa sangat berbeda dengan jaman sekarang? Kalau sekarang, lantai saja hampir semua sudah pakai keramik, bahkan marmer. Masa iya harus dirusak dulu demi meninggalkan jejak? Belom lagi dengan menjamurnya teknologi penangkap momen. Gawai, kamera, dan segala kerabatnya membuat kita teramat mudah untuk mengabadikan momen. Begitu mudahnya atau bahkan tidak ada momen yang bisa dikenang? Beda tipis.
...
“Nanti dirusak aja satu (keramik) biar bisa nulis tanggalnya.” Ammar berkelakar.
“Nanti dirusak aja satu (keramik) biar bisa nulis tanggalnya.” Ammar berkelakar.
Saya pikir itu ide yang bagus. Kalau
di film Keluarga Cemara Abah bikin cap kaki masing-masing anak buat
meninggalkan jejak, nanti saya mau tempelin foto masa kecil, ah, di lantai semen,
biar juga meninggalkan jejak sampai anak cucu, hehehe.
Kommentare
Kommentar veröffentlichen