Seringkali kita silau terhadap apa-apa yang nampak
Melihat sana-sini seakan itu jadi tujuan diri
Kita lupa bahwa yang menjadi peran adalah diri sendiri
Lantas, apa guna melihat yang lain sampai buat kita
lupa tumpuan kaki
Kosa kata yang kita latih puluhan tahun itu lalu hilang
Berganti jadi andaikan, seumpama, dan harusnya
Memandang diri sendiri tak lagi ada nilainya
Berkata perjuangan selama ini hanya sia-sia
Keringat dan hasil dikata tak ada apa-apanya
Mengapa kau menyiksa dirimu sendiri, sayang?
Memaksa jiwa ragamu untuk serupa dengan jiwa raganya
Lupakah kau kita dilahirkan dari rahim yang berbeda
Dengan rupa, tutur, dan laku yang tak mungkin sama
Bahkan dengan sepiring nasi goreng saja bisa jadi beda
selera
Lantas kenapa kau samakan dirimu dengannya pun dengan mereka?
Menganggap ia yang nampak enak bahagia kaya raya adalah
batas minimal untuk kau jadi orang
Lupa kah, kau, setiap dari kita bahkan tak punya jalan yang
sama?
Tak ingat kah, kau, sejatinya hidup ini bukan lintasan pacu? Dengan garis maya yang kau bikin sendiri
Tak sadar kah, kau, ada yang lebih berkuasa atas diri? Yang kau sebut-sebut saat kau punya pinta dan mendadak lupa
saat tak lagi ada yang dipinta
Sudah hilang, kah, kata-kata yang kau sebut mantra “hidup
adalah ladang kejutan”?
.
.
.
Tak perlu risau, sayang, kau hanya menunggu giliran untuk
dapatkan kejutanmu
Bukankah kejutan tak melulu soal semua yang indah?
Situasi yang malah bikin kau jadi berjuang, bukankah itu juga kejutan?
Situasi yang malah bikin kau jadi berjuang, bukankah itu juga kejutan?
Lantas apa lagi yang hendak kau lakukan selain terus
berusaha, berdoa, dan berprasangka baik terhadap-Nya?
untuk Ita, sayangku, yang telah berlari sejauh ini.
terima kasih untuk tidak pernah benar-benar berhenti.
sekarang tutuplah matamu dari apa yang buat kau silau dan lupa bersyukur.
istirahatlah sejenak, bahagiamu tak selalu tentang duniawi.
Kommentare
Kommentar veröffentlichen