Perjalanan ke Tuban: Belajar Merasa Cukup dan Bersyukur



AKHIRNYA. Sepertinya hanya satu kata ini yang ada di benak kami waktu itu. Saya bersama Lia, Santik, dan Hida akhirnya menuntaskan janji kami untuk pergi ke Tuban bersama, tempat asal Lia.

“Berangkat tanggal 1 habis subuh pulangnya minggu tanggal 3 ya!” perjanjian awal kami sepakati. Meski ada beberapa kendala yang akhirnya membuat kami harus kembali ke Surabaya lebih cepat sehari, namun rasa senang karena akhirnya bisa menginjakkan kaki di Tuban tidak bisa dipungkiri.

Kami memang berangkat Jumat pagi, namun tidak benar-benar sehabis subuh. Perkara wajar anak kost-an yang membuat kami masih berleha-leha sebentar dan benar-benar keluar dari pagar sekitar pukul 6 pagi. Kami tidak berempat, ada satu lagi kawan lelaki bernama Daip yang telah menunggu di Gresik. Selanjutnya kami berangkat, dengan tujuan pertama: Pantai Boom.
 
Pantai Boom, Pantai yang banyak ulatnya!




Saya awalnya penasaran, kenapa sih kok dinamakan Boom? Ada wahananya ya? Atau dulunya bekas ledakan bom? Ternyata dua narasumber (Lia dan Daip) tak bisa menjawabnya. Yasudah, saya simpan lagi rasa heran saya, hehe. Eh iya! Daip ini juga asli Tuban loh, alias teman satu SMAnya Lia. Makanya kami tarik ia supaya jadi co-guide  dalam perjalanan kali ini.

Kami tiba sekitar pukul 9. Masih pagi dan sepi. Lokasinya super strategis, karena berada di pusat kota. Benar-benar di depan alun-alun pas! Tak banyak yang kami lakukan di sana, hanya jalan-jalan, duduk santai menikmati udara, dan menikmati cemilan yang kami bawa dari Surabaya. 

Tidak enaknya, di sini banyak ulatnya. Sekilas mirip kaki seribu, sih tapi bukan. Kata Lia namanya ulat glagah atau ulat gagah, saya mendadak lupa-lupa ingat. Di setiap tempat ada ulat. Mau jalan harus awas, mau duduk apalagi. Saya sempat illfeel dan mengajak pergi karena ya.. phobia ulat. Lama-lama kok mikir: egois sekali ya, macam gini sudah minta pergi. 

Akhirnya rasa ego mulai mereda, mulai bisa tahan melihat ulat-ulat itu dan menemukan cara lain menikmati pantai ini: mengamati ubur-ubur. 

Selanjutnya: Pergi ke Klenteng Kwan Sing Bio
Letaknya berdekatan dengan Pantai Boom. Memang kami sengaja mencari yang berdekatan, hehe. Prinsipnya adalah murah, mudah, dekat, dan efektif. “Naik aja sampe lantai paling atas, biar dapat pemandangan bagus.” Daip mengingatkan. Berbekal saran tersebut, saya memaksa Lia, Santik, dan Hida untuk naik ke lantai paling atas. Kami tak bersama Daip lagi, ia harus pulang terlebih dahulu demi mengejar sholat Jumat.

Oh ini toh yang sedang trend, kata saya dalam hati. Dan.. ya bagus memang. Kami tak menghabiskan banyak waktu di sini, karena cuaca sedang terik dan ada beberapa orang sedang sembahyang. Kami tak ingin ganggu. Setelah puas berfoto, kami meninggalkan klenteng ini. “Yang penting sudah ke sini,” batin saya.

Ohya, klenteng ini juga berhadapan dengan laut loh! Gila, keren dah. Apalagi lihatnya dari lantai teratas gedung. Coba ke sininya pas sore hari, ala-ala sunset pasti makin keren.



Makan Belut Sambil Bergumam 


Di siang hari yang panas itu, kami berniat langsung menuju rumah Lia yang ada di Singgahan. Kira-kira satu jam dari pusat kota. Namun mendadak Lia mengajak berhenti di warung ‘Belut Ekstra Pedas’. Saya tak membayangkan macam-macam tentang belut ini, juga rasa pedasnya. Rugi kalau tidak coba, pikir saya waktu itu. Hingga setelah belut pesanan saya datang dan telah saya makan setengah porsi, Hida cerita tentang belut. “Bayangin aja waktu hidup,” sambil bergaya geli. Alamakkkk saya ikutan geli juga pada akhirnya. Duh segini parahnya mindset ini terpengaruh. Saya menyerah. Saya habiskan setengah porsi sisanya hanya dengan bumbu dan kerupuk. Belutnya gimana? Saya berikan Santik, dan Alhamdulillah dia suka. Hahaha 

Belajar Cukup dan Bersyukur
Menginjak Ashar kami tiba di rumah Lia. Saya melihat ponsel, oh betapa jaringan lenyap seketika.  Pupus sudah harapan bisa menghubungi orang-orang di sana. Saya lantas mengalihkan perhatian, tepat kemudian Ayah Lia mengajak kami pergi ke sawah untuk mengambil jagung. Tentu saja tak kami tolak. Di sawah, kami merasakan senang yang teramat sederhana. Bagai anak kecil, tidak takut terkena lumpur, bahkan ular. Sawah membuat kami semua bernostalgia tentang masa kecil. Kemudian Amel, adik Lia menemukan tempat undur-undur di tanah. Apa sih, bahasa indonesianya undur-undur? Haha. Hewan kecil ini terlalu akrab dengan saya dulu. Sudah jadi keseharian saya dulu waktu mbah masih ada, mencari mahluk satu ini untuk dijadikan obat. Saya juga teringat sewaktu SMP suka meletakkan undur-undur di bawah taplak meja guru matematika. Supaya gurunya ngantuk dan tidur! Hahaha nakal sekali ya saya dulu. Oh tapi saya tidak sendiri, tentu saja bersama teman-teman yang lain. Setelah gurunya tidur, kami ke luar untuk main. “Tak tirune, ah!” (Saya tiru, ah!) kata Amel. Waduh, saya memberikan contoh yang kurang baik ini, pikir saya.

Selama dua hari di sana, saya benar-benar menikmati suasananya.  Saya rasa teman-teman juga. Udara sejuk, air dingin, di samping rumah ada pohon markisa berbuah lebat, sayuran tinggal petik, dan lain-lain. “Kalau di kota, semua ini mesti bayar.” Kata ayah Lia. Ya, memang benar, segala di kota tidak mungkin kita dapatkan dengan gratis. Tiap biji yang kita buang ke tanah tumbuh subur dan berbuah lebat. Betapa sesungguhnya kita harus merasa cukup dan lebih banyak bersyukur kepadaNya.

katek alias jagung muda

Kommentare