Berkat ‘Benah Diri’ di Sekolah, Tasya Jadi Chef Sehari


Chef Tasya dan omelette pertamanya
Stigma bahwa anak-anak berkebutuhan khusus tak bisa melakukan apa-apa sendiri dan selalu bergantung pada orang lain mungkin masih ada di kalangan masyarakat. Namun bagi orang-orang yang peduli dengan mereka hal tersebut merupakan pikiran lama, terutama bagi guru-guru SLB Pelita Lestari di Desa Kandangan Kecamatan Krembung, Sidoarjo.
Melalui ‘Benah Diri’, Bu Ninik, Bu Lestari, Bu Elsa, Pak Willy, dan ibu guru lainnya (yang saya lupa namanya) bekerja sama dalam membentuk anak-anak didiknya untuk mandiri, peduli sesama, dan tentunya berguna untuk orang lain. Kegiatannya cukup sederhana, yakni mereka siswa-siswi dari TK hingga SMP dilatih untuk bisa melakukan apa-apa sendiri, minimal untuk dirinya sendiri. Misalnya mencuci piring bekas makan, memasang galon (untuk siswa laki-laki), menyapu, mengepel, sampai memasak (untuk perempuan). Untuk menunjang kegiatan benah diri, sekolah menyediakan fasilitas yang lumayan lengkap seperti wastafel, tempat cuci piring maupun dapur (lengkap dari alat masak hingga piranti hidang).
“Anak-anak ini memang diajarkan untuk bisa apa-apa sendiri, Bu. Inilah bedanya dengan sekolah regular. Jadi nanti ketika di rumah mereka bisa bantu-bantu pekerjaan rumah.” Jelas Bu Ninik.
Ya, benah diri ini dilakukan setiap hari mulai pukul 12 siang. Jadi setiap pukul 12 siang mereka (yang laki-laki) sholat berjamaah di masjid, setelah itu mereka makan siang bersama-sama dengan siswa perempuan serta bapak ibu guru. Mereka juga berdoa bersama-sama, biasanya dipimpin oleh Pak Willy. Ah kalau saya ingat mereka, saya jadi ingin kembali. Benar-benar pemandangan yang indah melihat murid dan guru di sini seperti keluarga sendiri, dekat dan hangat. Seperti tidak ada batasan yang kaku tentang siapa guru dan siapa murid. Tentu yang banyak terlibat dalam kegiatan benah diri adalah siswa-siswi yang sudah menginjak remaja, katakanlah SD kelas 6 dan SMP. Karena di usia inilah mereka sudah waktunya untuk banyak bersosialisasi, jadi mereka bisa lebih mudah beradaptasi ketika bersama dengan orang-orang yang belum mereka kenal.
Bercerita mengenai benah diri di SLB Pelita Lestari, seketika muncul satu nama kepala saya. Adalah Tasya, siswi kelas 6 yang cantik dan super duper berprestasi. Saya langsung jatuh cinta padanya bahkan sejak kami belum bertemu. Ibu bapak guru banyak membicarakannya karena ia adalah anak yang tanggap dan aktif.
“Tasya suka sekali menjahit. Kalau ibu guru mau ajari cara membuat bros pasti dia langsung bisa.” Begitulah Bu Lestari menggambarkan Tasya pada kami. Anyway, kami dipanggil ibu guru hehehe.
Di bayangan saya kata “tuna” lebih menjurus pada kekurangan, ketidaksempurnaan atau berbeda dengan yang lain. Termasuk ketika tahu Tasya ini tuna grahita. Saya sudah membayangkan akan sangat sulit berkomunikasi dengannya. Apalagi jika saya mengulik tentang kehidupannya di luar sekolah. Namun saya salah besar, apa yang sudah saya bayangkan sebelumnya ternyata sangat sangat lain dengan kenyataannya. Secara fisik ia seperti anak perempuan lain seusianya. Cantik, tinggi, tegap, manis, dan rajin. Yang membedakan hanya cara berkomunikasi. Ia biasa menggunakan bahasa isyarat sedang saya sama sekali tak bisa bahasa isyarat. Namun dengan gerakan tangan dan dibantu Pak Willy, akhirnya saya bisa ajak  dia ‘ngobrol'.
Kebetulan ketika itu saya hanya berdua bersama Risky. Ya, di antara kami berdua belas hanya saya dan Risky memang yang paling antusias untuk mengajar di Sekolah Luar Biasa. Hari itu Tasya membawa beras dan telur dari rumah. Oh iya saya lupa katakan kalau di sini, tidak melulu guru yang menyediakan bahan makanan. Siswa juga seringkali membawa sembako dari rumah, tentunya untuk dimasak dan dimakan bersama-sama di sekolah.
“Ayo Tasya masak sendiri ya dibantu ibu-ibu guru ini.” Kata Pak Willy sambil menunjuk kami berdua.
“Gak bisa, Pak.” Sambil menampakkan raut muka sedih Tasya menjawab dengan isyarat tangan serta suara terbata-bata.
“Bisa, kami ajari. Pelan-pelan aja.” Saya coba yakinkan dia. Kalau saya, bukan dengan isyarat tangan tapi dengan gerakan bibir.
Kemudian saya ajak dia menakar beras menggunakan gelas. Saya sempat kesulitan bagaimana cara menjelaskan tentang takaran beras ini. Akhirnya saya urung banyak bicara tapi lebih banyak memberinya contoh. Saya lakukan dan dia mengikuti. Untungnya Tasya adalah anak yang cepat tanggap dan kritis, jadi tanpa banyak penjelasan ia bisa langsung paham. Begitu pula ketika ada yang dibingungkan, seketika ia bertanya dan saya jawab sebisa saya sampai ia paham. Setelah itu ia belajar cara mencuci beras, atau kalau dalam istilah jawa ‘mususi’ beras. Kali ini Risky yang lebih banyak menjelaskan. “Sampai bersih ya!” Katanya memastikan.
Kemudian saya menunjuk satu ruas jari telunjuk dan air dalam beras tadi secara bergantian, sebagai isyarat bahwa kita butuh air dengan takaran itu agar nasi bisa matang. Saya juga bilang, kalau kita bisa pakai air panas untuk mempercepat matangnya nasi. Ia menganggukkan kepala tanda mengerti. Dengan hanya sekali arahan ia langsung paham tanda cook dan warm yang ada di magic com.
Sambil menunggu nasi matang, kami menemani Tasya membuat omelette. Singkat saja, hanya omelette mie. Memang agak ribet dan perlu waktu lebih lama jika dalam urusan ini. Maklum saja, kegiatan memecahkan telur, mengaduk, memasak mie, hingga menyalakan kompor adalah experience pertama bagi Tasya. Jadi tidak heran kalau ia ragu dan takut terutama terhadap minyak panas. Satu hal yang masih saya ingat adalah ketika saya melihat ekspresi jijiknya saat memecahkan telur dan mengenai tangannya. Buru-buru ia meletakkan mangkuk berisi telur tadi dan berlari menuju wastafel, hendak mencuci tangan. Saya ingin tertawa melihat tingkahnya. Namun lagi-lagi saya dan Risky meyakinkan dia bahwa bau amis dari telur itu memang wajar, tidak apa-apa. “Ayo lakukan lagi.” Kata saya.
Daaannn taraaaa jadilah nasi putih plus omelette spesial bikinan Tasya. Ia tersenyum bahagia ketika kami mengapresiasi hasil kerjanya. “Hmm baunya enak, mendadak lapar nih.” Kata saya spontan. Dengan sigap Bu Ninik mengambil hape dan memfoto hasil masakan Tasya. Saya kira hendak di posting di Instagram, taunya dikirim ke ibunya. Begitulah, setiap anak-anak berhasil melakukan sesuatu yang baru diajarkan, guru akan mengirim fotonya ke orang tua. Jadi orang tua bisa tahu dan memantau perkembangan anaknya di sekolah. Seketika saya tak bisa berkata-kata, kagum dengan usaha Tasya untuk belajar serta perjuangan bapak ibu guru dalam membentuk anak didiknya menjadi pribadi yang mandiri.
“Tasya ini kalau di rumah manja, Bu. Sama sekali gak pernah mau bantu bersih-bersih. Tapi kemarin ibunya bilang dia mau nyapu. Alhamdulillah, benah diri di sekolah bisa diterapin di rumah.” Bu Ninik kembali bercerita soal Tasya.
“Wah, nanti di rumah bisa bikin omelette sendiri ya!” Goda saya ke Tasya, sedangkan dia hanya menggangguk sambil tersenyum malu.
Tasya dan Tia sedang mencuci piring
Risky mendampingi Tasya mencuci beras

Tasya ketika merebus mie




situasi kelas ketika makan siang bersama


Kommentare