Cerita tentang Mereka Yang Luar Biasa

 

Selama masa KKN (Kuliah Kerja Nyata) kemarin, banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan. Tidak hanya skill mengajar yang terasah, namun juga kepekaan terhadap sekitar juga meningkat drastis. Hal itu saya rasakan ketika mengajar di SLB Pelita Lestari. Sebenarnya Sekolah Luar Biasa tak masuk dalam program kerja Literasi kami, namun kami pikir tanggung jika kami tak melibatkan sekolah ini dalam agenda.

SLB Pelita Lestari terletak di Desa Kandangan, Kecamatan Krembung, Sidoarjo. Bangunannya kecil, hanya ada tiga ruang utama yang salah satunya digunakan sebagai kantor guru. Jika dilihat dari luar, tak ada penanda khusus. Hanya ada sebuah papan berukuran sedang yang bertuliskan identitas sekolah.

Kami ragu ketika pertama kali bertandang ke sekolah ini guna menyodorkan proposal. Keraguan kami bukannya tanpa alasan, melainkan karena mayoritas dari kami berlatar pendidikan ilmu murni alias tak ada basic pendidikan, apalagi yang berkaitan dengan “luar biasa”. Namun dugaan kami ternyata tak sepenuhnya benar. Mereka, guru-guru SLB malah menyambut kami dengan suka cita.

“Kalian ini masih muda-muda, anak-anak pasti lebih semangat belajar. Berbeda jika dengan kami, mereka pasti wes bosan lihat yang tua-tua.” Kata Bu Ninik, alumni PGSD tapi malah mengajar di SLB. Kami hanya tersenyum ketika itu, merasa sangat tersanjung. Bagaimana tidak? Baik siswa maupun guru memanggil kami dengan sebutan ‘Bu’ dan ‘Pak’ meskipun kami sudah bercerita jika kami tidak biasa dengan sebutan itu.

“Panggil ‘Kak’ saja Pak, kami di sini hanya menjadi pendamping adik-adik saja, kami juga dasarnya tidak kuliah pendidikan.” Jawab kami sopan. Namun mereka tetap bersikukuh. Akhirnya kami mengalah saja. Hal pertama yang saya dapat dari sekolah ini adalah rasa menghargai. Mereka semua, dari kepala sekolah hingga siswa teramat menghargai kami. Tidak perduli status kami yang masih mahasiswa, mereka tetap menganggap kami sebagai sumber ilmu.

a kiss from the child
Hari pertama masuk sekolah berasa artis, anak-anak memperhatikan kami. Kami maklum, ini kali pertama mereka kedatangan mahasisa KKN dalam beberapa tahun terakhir. Mereka masih malu-malu ketika kami mencoba mendekat dan berkenalan. Di sini, sekolah terbagi menjadi dua: kelas besar dan kelas kecil. Di kelas besar ada Andik, Imam, Jani, dan Kirly. Mereka ini setara SMP. Ada juga Tasya dan Tia yang masih setara dengan kelas 6 SD. Sedangkan di kelas kecil ada sekitar lima belas anak yang setara dengan TK, Kelas 1-2, 3-4, dan 5-6 SD. Model kelasnya juga bukan seperti kelas yang biasa kita lihat. Di kelas kecil ini, mereka semua berada di satu ruang yang terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Di sinilah pembagian kelas tadi saya ceritakan. Masing-masing kelompok terdiri dari satu guru. Jadi gampangnya seperti ini:  

Sejujurnya, kami tak ada persiapan khusus untuk mengajar mereka. Hanya berbekal semangat dan pengetahuan yang belum seberapa. Di kelas besar, kami belajar mendongeng dan melipat origami. Sedangkan di kelas kecil, kami mendampingi mereka belajar membaca dan menulis, serta membuat kriya dari barang-barang tak terpakai. Di tempat ini kepekaan saya benar-benar diuji. Sebelumnya saya tak pernah bersosialisasi dengan anak-anak “istimewa” seperti mereka. Di sini, saya benar-benar menjadi lebih sabar dan lembut. Namun semuanya itu terbayar dengan rasa antusias mereka. Sebagian dari mereka adalah down syndrome, ada pula tuna grahita, dan tuna laras. Beberapa kejadian lucu sempat saya alami selama di sini, seperti mengira beberapa anak adalah saudara kandung karena wajah mereka mirip. Eh ternyata saya baru tahu jika kemiripan tersebut adalah karena down syndrome yang mereka miliki.

“Ciri-ciri dari down syndrome itu adalah wajah mereka mirip. Jadi kalau kalian lihat satu anak mirip dengan anak lainnya di daerah lain wajahnya sama, itu bukan karena mereka bersaudara, tapi karena mereka down syndrome.  Jelas bu Lestari. Saya dan teman-teman hanya ah oh ah oh saja mendengarnya.

Saya sendiri lebih sering masuk kelas besar daripada kelas kecil. Makanya saya lebih akrab dengan Jani and the geng. Mereka semua sangat spesial bagi saya. Tidak sulit mengajar mereka karena pada dasarnya mereka adalah anak yang cerdas dan tanggap. Saat mendongeng misalnya, saya ragu mereka paham atau tidak. Ternyata wow, mereka sangat paham dan interaktif ketika saya bertanya. Bahkan mereka juga hafal ketika saya suruh mereka menyebutkan beberapa legenda dari berbagai daerah di Indonesia. Diam-diam saya perhatikan mereka, ketika mereka membuat dongeng versi mereka sendiri dan diceritakan ke temannya. Namun mereka masih malu-malu ketika saya suruh bercerita di depan kelas. Dengan keterbatasan vokal, mereka akhirnya mau mencoba. Meski harus saya tuntun, mereka akhirnya punya nyali untuk merasa: aku bisa!

Di tempat ini pula saya baru pertama kali mendengar istilah Tuna Laras. Setahu saya hanya Jani yang Tuna Laras. Jadi dia sangat aktif: mengganggu temannya, mengganggu guru, serta berbagai kenakalan lainnya. Tapi ia sangat santun dan penurut. Ia begitu hanya karena ingin diperhatikan. Istimewanya lagi, hanya dia yang membawa Hp saat sekolah. Meski begitu, saat tantrum Jani bisa saja melakukan hal-hal di luar nalar. Anak-anak lain juga begitu, jadi setiap anak memang harus diperlakukan berbeda sesuai karakternya masing-masing. Di sini saya lebih merasa seperti ibu mereka ketimbang guru mereka.

Saya sama sekali tidak bisa bahasa isyarat. Perlu bantuan guru-guru untuk berinteraksi dengan mereka. Ada juga yang bisa bicara tapi tak jelas ia berbicara apa. Kalau sudah begini, saya lebih banyak mengandalkan perasaan untuk mengerti maksud mereka. Yang pasti, memang perlu waktu lebih lama untuk ngobrol dengan mereka, apalagi mengajari mereka tentang materi yang baru. Satu kalimat saja bisa bermenit-menit. Namun inilah nikmatnya mengajar mereka, mereka paham apa yang saya katakan saja girangnya ampunnn!

Sejatinya bukan mereka yang belajar dari kami. Namun kamilah yang justru belajar dari mereka. Terutama bagi saya pribadi. Saya belajar bagaimana saya lebih bersyukur dengan kondisi saya saat ini. Saya belajar bagaimana saya seharusnya lebih menyayangi orang-orang di sekitar saya, dan belajar tentang banyak hal. Suatu ketika pernah saya dalam kondisi bad mood sebelum berangkat ke sekolah. Saya takut tidak bisa ceria di depan mereka. Namun kenyataannya malah berbanding terbalik. Dengan tingkah konyol mereka, saya terhibur. Saya kagum pada mereka, dengan keterbatasan yang mereka miliki, semangat mereka tetap membara untuk bersekolah tinggi dan meraih cita-citanya.

Jani (sebelah kiri) satu-satunya anak Tuna Laras, serta satu-satunya siswa yang membawa HP ke Sekolah

Mendampingi anak-anak membuat origami

Kamus yang selalu dipakai Tasya


Prakarya anak-anak SD (meskipun lebih banyak mahasiswa kkn yang kerja, hehe)

Andik, salah satu siswa SMPLB yang malu-malu ketika disuruh maju untuk membaca cerita

Selfie with these lovely girls (and boy)

Kelas besar (SMP) yang hanya berisi 4 siswa

Kelas besar + kecil (SD & SMP) ketika makan siang



Kommentare