Konyol bagian 1.

1 Juli 2018.

Hari pertama di bulan Juli ini mengantarkan aku kembali ke Jogja. Sebuah tempat dimana bukan hanya sebagai tujuan plesiran sehari dua hari, melainkan tempat tujuan untuk menimba ilmu dan menambah pengalaman. Magang.

Keretaku datang pukul 14.56 tapi aku sudah duduk manis di ruang tunggu dekat rel satu jam sebelumnya. Rasanya seperti saat bepergian sebelum-sebelumnya, namun bepergian jarak jauh dengan menenteng barang super berat sendirian adalah kali pertama buatku. Begining is the hardest. Semangat!

Saat itu aku malas mengerjakan sesuatu, padahal bisa saja aku mengambil headset, atau membuka novel yg aku bawa. Akhirnya aku duduk diam menikmati sekeliling. Tidak lama setelah itu aku sadar bahwa aku tak benar-benar sendiri di deretan kursi yg sedang kududuki. Ada sepasang suami istri, beserta 2 krucilnya. Laki-laki, sekitar usia 3 dan satunya 4 tahun. Aku mencoba tersenyum dan memulai kontak mata dengan si krucil paling kecil. Ini bukan hal yang aku senangi, namun aku menjadi geli untuk menggodanya sketika ia berulang kali bertanya pada orang tuanya: "mana kereta apinya, kok lama". Berulang kali, dengan kekhasan anak kecil sampai-sampai orang tuanya lelah menjawab. Hahaha. Kemudian kusentuh dia sambil berkata: "sebentar lagi keretanya sampai, adek mau kemana sih?". Si adek malu-malu dan bersembunyi dibalik lengan ayahnya. Aku semakin tergoda, kuulangi lagi kalimatku. Aku yakin aku telah tersenyum manis semanis buah semangka, hehe. Biasanya kalau sudah begitu bayi manapun akan luluh. Namun kali ini jurus itu tidak berfungsi. Si adek menangis dan malah bersembunyi. Orang tuanya tentu saja menenangkan sambil sesekali tersenyum mencoba ramah padaku. Kamipun ngobrol singkat, biasa tanya menanya tujuan masing-masing. Tidak lama setelah itu, kereta Sri Tanjung yang aku tunggu tiba, oke goodbye...

Perjalanan di dalam kereta tidak usah diceritakan. Langsung saja saat turun dari kereta kemudian kami memesan ojek online. Biasa dong ya, anak bahasa jerman kalo bilang soal duit pakai bahasa jerman, biar gak ketahuan si bapak driver. Di beberapa kesempatan kami biasa mempraktikkan hal ini, dan aman-aman saja. "Sieben und zwanzig" kata Sela sambil menyodorkan hapenya padaku. "Ok" balasku singkat. "Sieben und zwanzig" si bapak mengulangi perkataan Sela. Spontan, kami terperangah dan tertawa kecil, menertawakan tingkah kami sendiri. Sela mencoba mengkonfirmasi: "Loh bapaknya bisa bahasa jerman?" "Bisa mbak" sambil tersenyum. Aduh! Mati kutu deh kita hahahaa. Sepanjang perjalanan menuju kos kami banyak diam bahkan lupa untuk bertanya perihal kemampuan berbahasa jerman si bapak driver. Kami mengira beliau adalah dosen atau guru, entahlah. Tapi yg jelas, hal itu kocak di hari kedatangan awal bulan Juli ini hahaha.

Kommentare