Bersosial media?


Bersosial tanpa media sosial? Hmm rasanya tidak mungkin sekali ya jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang. Tapi ada juga lho, yang memang tidak tertarik dengan media sosial tapi masih aktif di “real society”. Nggak percaya? ya harus percaya.

Kalau dipikir-pikir pasti ada negatif positifnya ya, bergantung bagaimana kehidupan sosialnya.
Loh kok kehidupan sosialnya? Bukan bergantung bagaimana kita-nya?

Dulu aku pikir memang iya, bergantung kita dan bagaimana kita memanfaatkan media sosial itu. Tapi belakangan aku sadar, bahwa yang benar-benar berpengaruh adalah: Bagaimana kehidupan sosial kita. 

Kenapa? karena we are what kind the society is. Kalo sosialnya pecinta hewan ya postingannya pasti kebanyakan soal hewan. Kalo yang difollow artis-artis pasti kita jadi orang yang melek fashion, trus kalo sukanya lihat timeline akun-akun gosip? Yaa pasti tau sendiri lah ya bakal gimana, hahah.

Aku salah satunya. Dulu anti media sosial banget, dan PD bakal konsisten seperti itu. Eh ternyata enggak lho, karena lingkunganku social media holic yasudah mau tidak mau akupun ikut-ikutan.
Awalnya aku janji tidak akan posting hal-hal yang unfaedah. Nyatanya? Wah, mending gausah janji ya.

Bersosial media berarti menciptakan “diri” di dunia maya. Seperti di dunia nyata, kita harus siap sama beragam “feedback” yang diberikan. Pujian, komentar, bahkan cibiran? ya kembali lagi kita harus terima. Kadang niatnya cuma iseng, tapi tanggapannya nggak disangka-sangka.

Kalo dulu pepatah bilang: mulutmu harimaumu, maka pepatah yang pas buat kehidupan sekarang adalah jarimu harimaumu. Intinya: just deal with that aja. Kalo siap “nunjukin” ya harus siap ”dikomentari” juga. Kalo pengen “ngomentari” ya harus ikhlas “sakit hati” juga. Bener gak? karena jari orang mau bilang apa, kita gak akan pernah tau.

Kommentare

Kommentar veröffentlichen