Sumpah Pemuda di ujung Maluku Utara



Pelajaran hari itu baru dimulai dengan Bahasa Indonesia. Minggu sebelumnya saya sudah memberikan tugas bagi tiap anak untuk berlatih memperkenalkan diri dengan teks yang sudah saya tulis di papan tulis untuk mereka catat di buku tulis. Anak-anak pun sudah siap dengan buku tulis masing-masing untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Kisah ini bukan bercerita tentang murid-murid kelas II berlatih kepercayaan diri di depan kelas, tetapi mengenai murid-murid kelas III di kelas sebelah.

Kelas III terdiri lebih dari 40 anak. Kelas II dan III hanya dipisahkan oleh beberapa lembar papan, membuat lubang di sebelah kiri bawah dan jalan tak berpintu di kanan. Dapat dikatakan dua kelas ini adalah sebenarnya satu kelas besar yang dibatasi oleh dinding kayu yang berlubang di kiri kanannya. Itu sebabnya, suara ribut bebas bersliweran keluar masuk dari kedua kelas atau sebaliknya.

Suara perkenalan diri murid-murid kelas II semakin tenggelam oleh suara keributan kelas sebelah. Pelajaran semakin tidak kondusif. Sudah setengah jam keadaan ini berlangsung. Akhirnya saya meminta murid kelas II untuk berlatih memperkenalkan diri kembali di meja masing-masing, sementara saya mencoba menenangkan kelas sebelah.

Pemandangan yang saya temukan di muka pintu membuat saya membuang napas panjang. Anak-anak kelas III berlarian kesana kemari, berbicara, berteriak, dan membuat keributan. Saya lihat meja guru tak berpenghuni. Tetapi, di atas meja sudah terbuka buku PPKN dan di papan tulis sudah tertulis beberapa tulisan spidol.

Saya mencoba menenangkan dengan sinyal sederhana “Hai-Halo” yang sudah saya ajarkan pada semua kelas tahun ajaran yang lalu. Ketika guru berteriak “Hai!” maka seluruh murid harus berteriak “Halo!” dan sebaliknya.

“Hai!” teriak saya, sambil berjalan ke depan kelas.

“Halo!” beberapa anak yang duduk di meja depan menjawab, sedangkan yang lain berlarian mencari tempat duduknya.

Saya mengambil napas lebih banyak. “Halo!” teriak saya lebih keras.

“Hai!” lebih banyak anak menjawab, dan hampir semua anak sudah duduk dan menghadap ke depan. Suara-suara mulai berkurang, meski masih ada beberapa anak yang mengobrol di belakang dan ada anak yang menggambar di pojok depan.

“Mana ibu guru?” tanya saya menelisik.

“Ibu pigi (pergi) ke ruang kepala sekolah Pa,” jawab seorang anak yang duduk di meja depan.

Saya paham anak-anak ini pasti selalu mengeluarkan energi terpendamnya ketika dibebaskan dari wali kelas mereka yang biasa mengayunkan rotan ketika pengajar pergi untuk bercengkrama dengan kepala sekolah di ruang guru. Orang tua di tempat saya bertugas, termasuk guru, sering menggunakan kekerasan, ancaman, dan makian untuk mendisiplinkan anak mereka. Orang tua sudah biasa mengangkat tangan dan menengadahkan telapak tangan kepada anak untuk mengisyaratkan tamparan jika membantah. Batang rotan sudah tersedia hampir di setiap meja guru, siap digunakan untuk mendiamkan murid yang berulah.

Saya mencari akal untuk membuat mereka tenang. Saya lihat tulisan spidol yang telah ditulis di papan tulis. “SUMPAH PEMUDA. Jakarta, 28 Oktober 1928”

Saya tersenyum. Saya pikir mata saya pasti berbinar saat itu. Ide itu muncul begitu saja. Rencana sudah di kepala, tinggal menjalankan saja di kelas. “Mari bermain,” pikir saya.

“Ada yang tahu apa itu sumpah pemuda?” tanya saya memulai di depan kelas. Hening. Anak-anak hanya celingukan, saling menatap. “Pertanyaan yang salah?”

“Sekarang Pa akan ajak ngoni (kalian) pigi ke masa lalu. Ke tahun 1928,” ucap saya. Masih hening, tapi beberapa anak sudah terlihat penasaran. ”Tutup mata ngoni.” Anak-anak semakin penasaran. Semua anak langsung menutup mata sambil tersenyum.

“Bayangkan ngoni adalah pemuda-pemudi Indonesia, ngoni saat ini di tahun 1928, di zaman kakek nenek ngoni hidup dulu. Saat ini, Belanda masih menjajah bangsa Indonesia. Ada yang tahu rasanya dijajah?” Mereka menggeleng.

“Bayangkan ngoni su kerja tanam kopra lama, lalu angkut kopra dari kebun ke kapal untuk dijual, tapi ngoni tidak dibayar oleh yang ambil kopra. Bagaimana rasanya?” kata saya dengan suara lirih.

“Kesal Pa!” jawab satu anak. “Sedih Pa!” jawab anak yang lain. Saya ambil contoh itu karena sebagian besar dari orang tua mereka bekerja sebagai petani kopra di kebun kelapa sekitar desa.

“Itulah rasanya dijajah. Bangsa Indonesia sudah dijajah selama lebih dari 300 tahun. Dari zaman kakeknya kakek kita. Bayangkan!” Wajah anak-anak semakin tertarik.

“Apakah mau ngoni dijajah terus? Apakah mau ngoni sedih terus? Apakah mau ngoni kesal terus?” tanya saya setengah berteriak. “Tidak Paa!” seru mereka kompak.

“Sekarang buka mata ngoni!” Segera mereka membuka mata. Seringai tetap terkembang di wajah mereka.

“Sekarang semuanya berdiri dan berbaris di lapangan upacara.” Tanpa disuruh dua kali, semua anak berdiri dan berlarian ke lapangan di luar kelas sambil berteriak kegirangan. Aku berjalan mengikuti di belakang mereka.

“Sekarang semuanya berbaris. Bentuk enam barisan. Pa hitung sampai sepuluh semua sudah berbaris rapi! Satuuu…” anak-anak segera berlarian membentuk barisan. Sambil menghitung, saya mengambil dahan kayu di bawah pohon. Di tanah lapangan upacara yang berpasir, saya goreskan bentuk pulau-pulau besar Indonesia dengan dahan kayu tadi; Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, dan Papua.

Ketika hitungan selesai anak-anak sudah berbaris dengan rapi. Lai-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, masing-masing tiga barisan. Mereka sudah terbiasa berkelompok sesuai gender.

“Sekarang Pa akan menamakan kelompok kalian. Ngoni adalah suku Sumatera,” tunjuk saya pada baris paling kiri. Serentak mereka berdesah “Weis!” sambil tersenyum. “Ngoni adalah suku Jawa,” tunjuk saya pada baris sebelah kanannya. “Ngoni suku Kalimantan, ngoni suku Sulawesi, ngoni suku Maluku,” tunjuk saya berurutan ke kelompok sebelahnya. Reaksi mereka sama. Wajah mereka semakin bersemangat.

“Dan ngoni adalah suku Papua,” tunjuk saya pada baris paling kanan. Sontak kelompok lain tertawa, sedangkan anak-anak kelompok terakhir ini tersipu malu, menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum.

“Suku ngoni semua berbeda. Apakah bahasa ngoni berbeda?” tanyaku. Mereka masih terdiam. “Apa bahasa Makian sama dengan bahasa Galela?” tanyaku. Suku Makian dan Galela adalah dua suku Maluku mayoritas di Desa Indong.

“Beda Pa!” jawab mereka. “Apa bahasa Jawa sama dengan bahasa Papua?”

“Bada Pa!” jawab mereka lagi.

“Bagus. Berati bahasa tiap suku ber…”

“Berbeda Pa!” jawab mereka.

“Bagus. Apakah tempat tinggal ngoni berbeda?” tanyaku lagi. “Beda Pa!” jawab mereka langsung. “Ya, benar. Tempat tinggal tiap suku berbeda. Di mana suku Jawa tinggal?” tanyaku. “Di Pulau Jawa, Pa!” seru mereka.

“Benar!” jawabku. Saya berjalan ke arah goresan bentuk pulau-pulau di atas tanah berpasir.

“Ini adalah tempat tinggal ngoni. Yang paling kiri adalah Pulau Sumatera,” tunjuk saya ke goresan pulau panjang paling kiri. “Di bawah ada Jawa, di atasnya ada Kalimantan, sebelahnya ada Sulawesi, sebelahnya ada Kepulauan Maluku, dan di paling kanan ada Papua,” kata saya sambil menunjuk semua pulau dengan dahan kayu.

“Tugas ngoni berikutnya adalah segera pindah ke pulau masing-masing. Dalam lima hitungan semua sudah pindah. Yang tertinggal akan dimakan buaya!” ujar saya sambil mengangkat tangan kanan membentuk capit sambil menggeretakkan gigi. Sontak mereka semua tertawa.

“Mulai! Satuuu..” Segera semua anak berlarian memasuki wilayah pulau masing-masing. Ada yang berlarian berpindah-pindah pulau. Ada yang mendorong temannya keluar dari pulau sambil bercanda. Belum sampai hitungan lima, semua kelompok sudah berada di pulaunya masing-masing.

“Ya, bagus. Sekarang lihatlah. Setiap suku berbeda pulau. Ada apa diantara pulau?”

“Ada buaya, Pa!” jawab satu anak. Aku terkikik sendiri.

“Ya, benar!” jawab saya sambil menahan tawa. “Buayanya tinggal dimana?”

“Di laut Pa!” jawab mereka berbarengan. “Ya, benar!”

Saya sempat berpikir sebenarnya kebanyakan buaya hidup di sungai atau rawa, tetapi bukan itu inti pelajaran hari ini.

Di tengah lapangan, saya menjelaskan dengan adanya laut yang memisahkan semua pulau, mereka menjadi terpisah-pisah dan sulit bertemu dan berkumpul. Anak-anak memperhatikan dengan seksama.

“Sekarang bayangkan Belanda ada di setiap pulau. Belanda menjajah semua suku di semua pulau. Jumlah tentara Belanda lebih banyak dari ngoni. Apa yang harus ngoni lakukan?”

Anak-anak terlihat antusias berpikir, tapi masih belum bisa memberikan jawaban.

“Belanda ada banyak. Ngoni juga ada banyak, tapi ngoni terpisah-pisah. Ngoni harus bagaimana?”

“Harus bergabung, Pa!” teriak seorang anak di Pulau Kalimantan. “Ya, benar! Ngoni harus bergabung. Ngoni harus bersatu. Bagaimana caranya?” Mereka terlihat kebingungan.

“Pa bantu. Sekarang Pa kase (beri) ngoni kapal. Semua suku dapat satu kapal. Jadi, bisa pergi ke pulau lain tanpa digigit buaya. Mau pergi kemana ngoni? Ingat ngoni harus bersatu. Jadi ngoni harus apa?”

“Harus berkumpul, Pa!” Jawab seorang anak.

“Bagus. Berkumpul dimana?”

“Di Indong, Pa.” Jawab anak yang lain. Saya tersenyum.

“Desa Indong tidak cukup, sayang, untuk menampung ngoni semua. Kota apa yang paling besar di Indonesia?” sambung saya.

“Jakarta Pa!” beberapa anak menjawab sekaligus.

“Ya, Jakarta! Bagaimana kalau ngoni semua berkumpul di Jakarta?”

“Iya Pa!” jawab mereka bersemangat.

“Oke, sekarang ngoni akan naik kapal ke Jakarta. Dalam 10 hitungan, ngoni semua sudah berbaris rapi seperti tadi. Buat enam baris, tetapi dalam satu kelompok harus ada semua suku, jadi harus dicampur. Siap? Satuuuu…” seru saya memberi aba-aba.

Anak-anak kembali berlarian membentuk barisan. Ternyata mereka masih belum terlalu mengerti maksud dari semua suku harus ada dalam satu kelompok sehingga saya harus membantu merapikan barisan. Sambil menghitung dan merapikan, ada dua anak lelaki yang terlihat asyik mengganggu teman-temannya. Sampai hitungan sepuluh, ternyata dua anak tersebut masih bermain.

“Sepuluh! Ya selesai, ngoni berdua maju ke depan!” perintah saya kepada dua anak lelaki tersebut. Sedikit kaget, dengan lunglai mereka berdua maju ke depan. Saya beriskan mereka berdua berdiri di depan kelompok yang lain.

“Nah, karena ngoni berdua tidak mau ikut bersatu dan bekerja sama dengan suku-suku lain, pa ubah tugas ngoni. Sekarang ngoni berdua menjadi Belanda yang menjajah.”

Anak-anak yang sudah berbaris tertawa dan berteriak “Yeiyyy!” Dua anak tadi hanya tersipu malu sambil menggaruk-garuk kepala.

“Nah, sekarang ngoni semua sudah berkumpul di Jakarta. Ngoni tidak lagi bergabung menurut suku di pulau yang terpisah, tapi sudah bercampur di Jakarta. Suku Jawa sudah bergabung bersama suku Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Semua suku sudah bersatu menjadi satu bangsa, yaitu bangsa…”

“Bangsa Indonesiaaaa…!!” sambar anak-anak serentak.

“Ya, benar! Coba pa tanya. Kalau sudah bergabung dan bersatu, apa bisa bahasanya berbeda? Apa bisa suku Jawa berbahasa Jawa dengan suku Kalimantan?”

“Tidak Pa!” jawab mereka.

“Kalau begitu harus pakai bahasa apa sayang?”

“Bahasa Indonesia!” teriak seorang anak.

“Ya, pintar! Kita harus pakai bahasa Indonesia. Bahasa yang dipakai semua suku di Indonesia. Supaya suku Sumatera bisa ngobrol enak dengan suku Sulawesi, suku Papua bisa berteman dengan suku Maluku,” jelas saya. “Lalu sekarang kalian apakah masih di pulau yang terpisah-pisah?” tanyaku kembali.

“Tidak Pa!” jawab mereka.

“Dimana ngoni sekarang? Di tanah apa?”

“Di Jakarta Pa!” teriak seorang anak.

“Ya, di Jakarta. Jakarta itu ada dimana?”

“Di Jawa Pa!” teriak anak yang lain. “Benar, di Jawa. Tapi ingat, ngoni tidak lagi terpisah-pisah. Ngoni sudah bersatu. Jangan lagi ngoni sebut tanah ngoni tanah Jawa, tanah Sumatera, atau tanah Maluku. Tapi sebut sebagai tanah apa?” tanya saya.

“Tanah Indonesia Pa!” teriak beberapa anak sekaligus.

“Ya, tepat sekali! Ngoni sudah tidak lagi terpisah. Ngoni sudah bersatu. Tanahnya juga satu. Disebut tanah air Indonesia. Tanah tumpah darah Indonesia. Apa maksud dari tumpah darah?” Hening, tiada yang menjawab.

“Kalau ngoni terluka, lalu kulit ngoni berdarah. Darahnya tumpah kemana?”

“Tumpah ke tanah Pa!” jawab semuanya.

“Ya, betul. Begitu juga para pahlawan yang berjuang melawan penjajah. Mereka maju berperang, terluka, dan meninggal ditembak demi kemerdekaan Indonesia, semua darah mereka tumpah ke tanah. Karena itu, tanah Indonesia, tanah kita semua, disebut tumpah darah Indonesia.” Beberapa anak mengangguk-angguk.

“Nah, sekarang semua suku sudah berkumpul di Jakarta. Sekarang tanggal 28 bulan Oktober tahun 1928. Semua pemuda-pemudi Indonesia dari seluruh pulau berkumpul di Jakarta. Mau apa ngoni semua?” wajah mereka antusias berpikir.

“Lihat dua orang ngoni di depan. Siapa mereka?”

“Belanda Pa!” jawab mereka sekaligus.

“Ya. Ingat kalian masih dijajah. Kalian berkumpul untuk bersatu melawan penjajah. Tunjukkan rasa persatuan ngoni dengan bersumpah. Namanya sumpah apa?”

“Sumpah Pemudaa!” jawab mereka semua serentak.

“Ya, benar. Sekarang semua letakkan tangan kanan di atas dada. Ikuti kata-kata Pa.” Serentak semua anak meletakkan tangan kanan di atas dada.

“Sumpah Pemuda. Satu. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia. Dua. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Tiga. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Merdeka!” Teriak saya dengan mantap mengepalkan tangan ke udara diikuti oleh anak-anak.

“Sekali lagi,” saya teriakkan sumpah pemuda kembali diikuti anak-anak. Suasana sangat khidmat. Tidak ada yang bermain-main. “Sekarang ngoni sudah bersatu, siap melawan penjajah. Pa ingin lihat semangat ngoni melawan Belanda. Lihat kedua teman ngoni di depan,” kata saya. Dua anak yang berdiri sontak kaget.

“Tunjukkan pada Belanda kalau semua sudah bersatu dan siap berperang. Angkat senjata ngoni semua,” perintah saya sambil memperagakan memegang senapan dengan tangan. Anak-anak mengikuti dengan bersemangat.

“Siap…” perintah saya sambil mendekatkan tangan ke kepala sambil memicingkan mata. Kedua anak tadi terlihat sudah bersiap untuk berlari.

“Tembak!” teriak saya. Serentak dua anak tadi berlari ke luar sekolah. Tak disangka-sangka semua anak yang lain ikut berlarian mengejar mereka ke luar sekolah.

“Tembak! Kejar!” teriak mereka.

“Lho, tunggu! Jangan lari!” teriak saya kebingungan. “Astagaa..” ujar saya sambil menutup mata dengan telapak tangan.

Terlambat. Mereka semua sudah berlarian, seperti warga desa mengejar maling ayam. Sedangkan saya hanya bisa menggaruk-garuk kepala di lapangan. Saya hanya bisa melihat anak-anak berlarian mengelilingi sekolah. Membuang napas panjang, saya kembali ke kelas II menemani murid-murid lainnya yang menanti di daun pintu kelas. Kembali mengajar cara memperenalkan diri yang baik. Menunggu para pejuang cilik saya kembali dari medan perang. 



Sepenggal kisah yang ditulis oleh Rahman Adi Pradana, salah satu Pengajar Muda yang ditugaskan di Desa Indong, Halmahera Selatan, Maluku Utara ini adalah salah satu kisah yang membuat haru. Judul aslinya adalah “Bersumpah di Pagi Hari”, kisah lengkapnya bisa dibaca di buku Mengabdi di Negeri Pelangi terbitan Kompas. Bukan berati kisah yang lain tidak mengharukan, semuanya sungguh luar biasa. Namun yang paling menarik versi saya adalah tulisan tersebut.
Kisah para Pengajar Muda ini seketika membuka mata dan pikiran saya. Bagaimana kondisi di tempat penugasan dengan di tempat saya kini berada sangat sangat jauh berbeda. Dengan segala keterbatasan, mulai dari komunikasi, transportasi, hingga ekonomi tidak menyurutkan semangat anak-anak di pelosok negeri untuk terus belajar, meski di beberapa tempat kesadaran akan pentingnya pendidikan masih juga ada, yang menjadi tantangan tersendiri bagi para Pengajar Muda.
Tidak cukup hanya membuka mata dan pikiran, saya pun ingin merasakannya. Menjadi bagian dari mereka, yang mengabdikan diri untuk negeri. Setidaknya, saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan dan berbagi segalanya dengan sosok-sosok cilik yang menjadi target dalam program ini. Semangat, ilmu, dan pengalaman. Saya yakin kesempatan itu akan tiba, suatu hari nanti. Semoga.
 

Kommentare