Cerita Hangat dari Rumah



Jika kita berbicara tentang hidup, beribu topik tidak akan pernah habis. Dengan kekompleksannya, akan ada banyak persepsi yang muncul. Terlepas dari baik atau buruknya, itu normal. Manusiawi jika kita sebagai manusia, pelaku kehidupan kadang merasa mengeluh atau bosan dengan keruwetan dunia. Namun pernahkah kita, menyadari akan posisi kita sebagai mahluk ? Dimana kita memiliki Tuhan yang super baik. Yang membuat kita merasa bersyukur atas apapun yang telah Ia beri.

Masih berkaitan dengan itu, ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa syukur. Saya misalnya, bersyukur telah dikaruniai sebuah keluarga yang amat luar biasa. Saya adalah anak pertama dalam dua bersaudara. Adik saya laki-laki, saat ini masih 14 tahun dan dalam tahap nakal-nakalnya. Kenapa saya bilang begitu? Ya karena memang begitulah adanya. Kami terpaut usia yang cukup jauh, membuat saya mau tidak mau, harus menjadi orang yang mampu mengimbanginya. Saya memiliki seorang Ayah yang lembut namun tegas, yang dengan caranya sendiri membuat kami anak-anaknya hormat tanpa merasa tertekan. Kontras dengan Ayah yang sedikit sekali berbicara, Ibu saya ini lumayan cerewet. Namun disitulah letak kepeduliannya yang sangat sangat besar melebihi siapapun didunia. Mereka berdua adalah guru, sekaligus sahabat. Saya bahkan tak pernah ragu untuk bercerita apapun, termasuk laki-laki yang saat ini tengah dekat dengan saya. Seolah menghapuskan kekakuan antara orang tua dan anak.

Mereka membesarkan kami dengan cara mereka sendiri. Dengan asas saling memahami yang selalu diterapkan, kami saling tahu bagaimana karakter dari masing-masing anggota keluarga. Kuncinya adalah keterbukaan dalam berkomunikasi. Seperti apa? Sederhana saja, di dalam rumah kami terbiasa berkata halus nan sopan. Bukan sebatas anak kepada orang tua, bahkan sebaliknya. Pernah ada teman saya berkata : “Ayahmu sopan sekali berbicara dengan anaknya.” Sedari kecil, kami memang dibiasakan berbahasa krama, sebagai orang Jawa asli. Pun orang tua kepada anaknya. Kelihatannya memang remeh, namun percaya atau tidak setelah saya berusia 20 tahun, hal itu benar-benar membentuk kepribadian saya. Ayah dan Ibu, hampir dikatakan tidak pernah menyuruh, namun mereka meminta tolong. Sekecil apapun itu, mereka mengajarkan kami untuk tidak seenak hati menyuruh orang lain. Namun menggantinya dengan meminta tolong. Tiga ungkapan yang selalu mereka petuahkan, “tolong”, “maaf”, dan “terima kasih”. Semoga saya tidak pernah lupa untuk menerapkannya, semoga {}

Di dalam rumah, kita terbiasa makan bersama dalam satu meja. Paling tidak, sekali dalam sehari. Lebih seringnya saat makan malam. Momen inilah yang biasa digunakan untuk saling bercerita. Seperti yang saya katakan diatas, keluarga saya adalah tipikal keluarga terbuka. Entah itu masalah sekolah, teman atau bahkan hal-hal sepele tidak luput dari pembicaraan. Begitu pula dengan orang tua. Bahkan saat mereka mengalami masalah finansial pun, mereka tetap berbagi kepada anak-anaknya. Yaa meskipun pasti tetap ada yang mereka privasikan, nyatanya hal ini mampu membuat saya dan adik saya lebih memahami kondisi keuangan keluarga, jadi kalau mau minta uang jajan tambahan jadi mikir panjang deh, hehehe. Saya pernah dengar dari seseorang yang berpengalaman, bahwa ternyata dalam sebuah keluarga, berbagi mengenai persoalan yang dihadapi, khususnya masalah keuangan itu perlu bagi si anak. Dengan begitu, anak akan paham dan secara tidak langsung melatih kepedulian dan empatinya saat ia besar.

Bisa dibilang, keluarga kami adalah keluarga demokratis. Saya dan adik saya selalu memiliki opsi sendiri dalam menentukan sesuatu. Misalnya dalam menentukan mau makan apa besok, atau mau pergi kemana hari minggu besok, atau bahkan saat mendekor kamar tidur. Semuanya murni dari kami. Mereka tidak pernah membatasi keinginan kami, atau mungkin menganggapnya remeh. Pernah saat saya minta sebuah ruang khusus di rumah untuk perpustakaan, mereka tidak langsung menolak. Karena keterbatasan ruang dan penjelasan yang mereka pahamkan, akhirnya saya bisa menerimanya. Dan sebagai gantinya, Ayah membuatkan saya rak buku gantung. Ah, betapa bahagianya saya. It’s like my own minilibrary (mereka tahu jika saya seorang  bookaholic). Atau ketika salah satu dari kami berbuat salah, tidak ada aksi marah-marah. Yang ada hanyalah sesi pengakuan, permohonan maaf, dan janji untuk tidak mengulangi lagi. Saya sih selama ini aman-aman saja dari tindakan ini, yang ada hanya adik saya. Yaa karena kenakalannya, maklum usia segitu memang lagi nakal-nakalnya kan.

Mereka sama-sama berijazah Sekolah Menengah Atas. Namun mereka selalu mendorong anak-anaknya untuk berpendidikan tinggi melebihi mereka. Saya ingat betul bagaimana mereka menitip pesan : “Ayah sama Ibu ini bukan orang kaya yang bisa meninggalkan kalian harta saat tua, tapi Ayah dan Ibu akan melakukan segala cara untuk membuat kalian tetap sekolah. Karena jika kalian berilmu, Insyaallah kalian akan disegani.” Saya rasa semua orang tua akan melakukan hal yang sama. Mereka mengenalkan aksara pada saya pada saat saya belum menginjak 5 tahun. Jadi sebelum TK, saya sudah bisa membaca, menulis, dan mengaji. Saya masih ingat, betapa saya merengek untuk dibelikan majalah Bobo dulu setiap hari Kamis. Dan kebiasaan itulah yang membuat saya mencintai buku hingga sekarang. Sayangnya, hal tersebut tidak berlaku kepada adik saya. Untungnya kami semua paham, tidak semua anak tumbuh dengan kemampuan akademis yang sama. Untuk itu, kami selalu mendukung apapun yang menjadi minatnya, selama itu positif.

Kami sekeluarga suka perayaan. Entah itu ulang tahun, kelulusan, atau sekadar mendapat rezeki tambahan. Selalu kami sempatkan untuk berkumpul dan makan bersama. Tidak perlu mewah, yang penting momennya. Begitulah cara kami mengapresiasi sesuatu. Sekedar makan martabak di rumah pun akan terasa istimewa jika kita menikmatinya.

Kurang lebih seperti itu gambaran keluarga kecil kami. Bukan keluarga yang sempurna, tidak selalu harmonis, tapi sederhana dan apa adanya. Setiap permasalahan yang terjadi, akan selalu dicarikan solusinya dengan segera. Terutama orang tua, selalu mampu membuat kami anak-anaknya untuk betah berlama-lama dirumah. Bukan karena fasilitas yang serba ada, melainkan hati dan tangan yang selalu terbuka. Jika pepatah bilang : “Pendidikan anak yang pertama adalah orang tua.” Maka hal tersebut benar adanya. Bagaimanapun saya sekarang, tidak lebih adalah karena bentukan lingkungan keluarga. Dan jika saya menjadi orang tua kelak, saya ingin membesarkan anak-anak saya seperti orang tua saya membesarkan saya. Tentu saja dengan memilah mana yang baik dan mana yang buruk.

Untuk itu, jika masih ada diantara teman-teman yang saat ini memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarga, ada baiknya merenung sejenak. Melihat kilas balik masa kecil, dimana orang tua selalu menyayangi dan mencintai anak-anaknya. Tidak ada orang tua yang membenci anaknya, yang ada hanyalah cara mereka dalam mencintai yang selalu berbeda-beda. Mari kita sama-sama bersyukur, karena keluarga adalah pemberian Tuhan paling indah. Merekalah tempat kita kembali saat orang lain mungkin tidak mampu menerima keberadaan kita.

Bukan bermaksud pamer atau sebagianya, saya hanya ingin menunjukkan beginilah cara saya bersyukur atas kehadiran 3 malaikat ini dalam hidup saya. Betapa saya sangat mencintai mereka melebihi hal lain didunia. Overall, Holy thanks God -


Kommentare

  1. Kisah Cinta remaja masakini yang selalu berujung dengan "kenikmatan" , biasanya remaja kekinian khususnya para kaum Adam sering mencari *Gambar Artis Bugil* di internet. Siapa sih yang tidak ingin melihat video Bokep Gratis ?? Pastinya kita kaum Adam sangat ingin, apa lagi itu sedang viral. Zona Cerpen merupakan sebuah blog yang berisi tentang Cerita Dewasa yang akan menggairahkan. menulisrasadi jangan lupa tonton video live mantap2 di Pasutri Bahagia dan situs terbaru Nonton Bokep online

    AntwortenLöschen

Kommentar veröffentlichen