Unspoken Feelings



Sore itu tepat hari Rabu, 9 Agustus 2017. Sebelumnya, aku tidak pernah menyangka akan terlibat dalam cerita-cerita yang mereka visualkan. Ammar, yang sudah aku kenal sebelumnya tiba-tiba mengajakku bertemu sahabat yang sudah lama tak bersua. Yaa aku mengiyakan saja, istilah jawanya: manut. Hehe
Iqbal dan bang Indra, kakak beradik ini menyambut kami hangat. Khususnya aku, to be honest ini pertama kali aku dikenalkan pada sahabat nya teman dekatku, ya itulah pokonya. Rasanya? Canggung, malu, juga terharu. Berusaha sewajar mungkin, mengandaikan aku yang berada diposisinya Ammar kala itu.
Jadi sebelumnya, Iqbal sudah menunggu kita di sebuah masjid (cerita sebenarnya tidak sesingkat ini sih). Dan ketika Ammar tersenyum lebar yang kemudian memeluk sahabatnya itu, aku berkesimpulan: ”Ini toh yang namanya Iqbal.” Ada rasa bahagia yang dalam, ikut terharu melihat dua karib ini akhirnya bertemu. Bagi orang lain perasaan itu mungkin biasa saja, tapi sungguh luar biasa kala aku benar-benar mendengar dan meresapi ekspresi mereka dalam-dalam.

Aku terbiasa menjadi pendengar, dan sore itu kutekadkan lagi. Khusus bagi dua orang ini, yang kemudian bertiga dan akhirnya berempat karena kehadiranku. Berusaha hadir dalam bagian-bagian kenangan yang mereka tuturkan dengan penuh antusias. Aku paham betul, dari pelupuk mata tergambar kerinduan akan kehidupan lalu yang penuh perjuangan namun sarat pelajaran. Wajib ku akui, mereka hebat, kontras dengan kehidupanku yang terkesan datar-datar saja. Maka aku bersyukur telah bertemu mereka, sedikit banyak telah membuka hati dan pikiran. Dari sekian banyak yang mereka obrolkan, aku hanya sesekali menimpali dan tersenyum tulus. Satu yang pasti, dari mereka lah aku mengenal Lampung, mengaguminya, dan bertekad mengunjunginya.

Berlanjut, kita pergi menuju sebuah tempat di ujung Surabaya dan berharap bisa mendapat spot bagus. Tapi sayang, karena ada sesuatu akhirnya TUTUP. Padahal sudah bayar tiket masuk dan dibayari oleh mereka, kan sebel ! It’s ok, Surabaya has many cool places. Putar balik ke Wisma Jerman, rencana sih nonton film Jerman “Vier Minuten” yang pengen banget ditonton sama Ammar. Lagi-lagi, GAGAL. Tanggal yang tertera adalah 16 Agustus yang artinya masih minggu depan. Okey, masih dua kali. Selanjutnya, cuss ke taman kebanggaan kota pahlawan, Taman Bungkul. Muter-muter, foto-foto, sambil makan. Ini yang unik, namanya Rawon Kalkulator. Makanannya sih standart, yang unik itu cara menghitungnya yang super cepat. Kita berempat sampek melongo melihat si bapak menghitung, haha! Dan lagi-lagi mereka yang bayar. 

Lanjut lagi keesokan harinya, kita menuju House of Sampoerna. Niatnya naik Surabaya Heritage Track, sekalian mengunjungi banyak tempat hanya dengan satu kali jalan. Sombong sedikit sih, diantara kami berempat hanya aku seorang yang pernah merasakan sensasi naik SHT, makanya aku recommend banget buat mereka, khususnya yang datang dari luar Surabaya :D. Niat hanya sebatas niat. Kita sampai lokasi pukul 15.01 dan bus berangkat tepat pukul 15.00. Selisih 1 menit doang, gila kan sayangnya! Yang bikin sakit hati ketika berpapasan langsung dengan bus dan ada bule didalamnya. Maklum, bagi orang awam seperti kami bertemu dan berinteraksi langsung dengan bule adalah hal yang langka. Oh iya, dalam perjalanan menuju HOS ini kami terpisah, alhasil kami (aku dan Ammar) duduk santai sambil menunggu Iqbal dan Bang Indra.

“Masih weekday kok, kita masih bisa lihat ibu-ibu melinting rokok.” Ucapku memberi semangat. Sebagai tuan rumah, rasanya ingin sekali kami menunjukkan betapa kerennya kota ini pada mereka berdua. Lagi-lagi harus kecewa saat petugas museum memberi informasi bahwa produksi rokok hari itu hanya sampai pukul 12.00. Nah lohhhhh!! Lengkap sudah kekecewaan ini. Menyimpan rasa kecewa itu dalam-dalam, kita keliling museum sambil berfoto ria. Melihat antusiasme mereka, kami cukup senang dan lega. Setidaknya kita bisa mengukir kenangan manis disini, meski sebentar. 

Setelah dari HOS, Ammar berniat mengajak ke Surabaya North Quay. Namun akhirnya kami mengurungkan niat karena tiba-tiba saja mereka berkata harus segera balik ke Lampung esok hari. Tak kusangka lagi, pertemuan kami berakhir tepat di depan halaman House of Sampoerna. Kami berpisah. Ada rasa haru yang lagi lagi muncul kala melihat Ammar menahan bulir-bulir air mata yang hendak jatuh. Aku benar-benar tau rasanya, berpisah lagi dengan karib yang bertahun-tahun tak bertemu. Aku tau pula, seketika itu bayangan kenangan terputar lagi oleh memorinya yang manis. Satu persatu bergiliran. Aku sungguh tau keduanya saling menahan rasa. Tak mampu berkata lebih banyak, aku pun menyunggingkan senyum. Sambil menitipkan doa dalam hati, semoga mereka selamat di tanah seberang dan semoga kita bersua lagi dilain waktu. Entah mereka yang kembali datang, atau kami yang bertandang ke Lampung. Ah semoga saja, sambil menjawab rasa penasaranku terhadap Lampung dan segala keindahannya, dan gantian menraktir mereka. Semoga {}  

Kommentare