Problematika Perempuan


Saat tulisan ini dibuat, rasa galau yang aku rasakan sedang dalam puncak-puncaknya. Pasalnya, moment liburan semester ini aku memang memutuskan untuk “stay in comfortable zone”. Berada dirumah dalam jangka waktu yang lama, serta me-time terus-terusan kadang membuat bosan juga. Selain mengerjakan tugas-tugas kepanitiaan kampus (yang gak ada habisnya) secara jarak jauh, aku juga sudah mencanangkan bakal ngelakuin banyak hal yang sempat tertunda gara-gara fokus kuliah. Apa itu? Puas-puasin baca novel + nonton film ! Maklum, sebagai anak rantau rumah jadi berasa surga.

Namun siapa sangka jadi anak rumahan (sementara, hehe) bakal seindah yang dibayangkan. Tidak sedikit hal-hal remeh yang membuat aku jadi pengen lari dari rumah alias kembali ngampus. Sebagai seorang perempuan yang usianya sudah memasuki kepala dua, kegiatan memasak harusnya sudah menjadi kegiatan rutin setiap harinya atau bahkan kegiatan favorit. Tapi entah kenapa hal itu tidak terjadi padaku. Tiap pagi, tiap kali Ibu memasak aku selalu berusaha buat nimbrung juga. “kayaknya asik kalo aku jago masak” dalam hati suka membatin sendiri, tapi kenyataannya boro-boro jago masak, berlama-lama di dapur aja rasanya ogah! Bahkan saat di kos, yang roommate nya cewek semua dan suka masak semua, sering banget masak. Yah, selain karena lebih hemat, itung-itung sebagai obat kangen rumah. Tapi tetap saja aku yang paling nggak jago masak. Suka heran sih, kok aku gak ketularan ya? Hmm..

Keinginan buat jago masak? Jangan ditanya, pasti ada. Mengingat sebagai seorang perempuan yang nantinya bakal jadi ibu rumah tangga, kegiatan masak memasak adalah kegiatan wajib. Niat ? Sure, I have it already. Tapi entah kenapa selalu ada saja yang menggagalkan niat itu (sedikit ngeles sih, hihi). Padahal dulu sewaktu SMP, ada satu muatan lokal yang sengaja aku pilih : Tata Boga. Disitu aku banyak belajar soal kuliner. Aneka jenis hidangan-makanan besar, kue, pudding, dessert beserta minumannya sudah pernah dipraktekkin. Bahkan saat ujian akhir, aku menuliskan resep berbagai jenis masakan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya tanpa mencontek. Keren kan? Hahaha. Saat itu pula aku menemukan fakta bahwa : “Memasak itu tidak pernah ada takaran bumbu pastinya, mencoba suatu resep tidak ada istilah gagal. Lidah orang berbeda-beda, oleh karenanya resep yang dikatakan berhasil itu adalah ketika lidah kita mengecap rasa dan kemudian berujar : enak.” Inilah kenapa setiap resep selalu tertulis kata secukupnya pada takaran beberapa bumbu, garam dan gula misalnya. Pernah pula aku mengalami kejadian unik tentang resep. Waktu itu sedang berlangsung presentasi hasil On The Job Training semasa SMK. Ada satu teman yang bercerita mengenai pengalamannya menjadi trainee bagian kitchen di salah satu hotel ternama di Pasuruan. Ia menuliskan resep sebuah masakan yang biasa ia olah, dan tentunya terdapat beberapa kata “secukupnya”. Kemudian ada salah satu asesor yang menertawainya serta berkomentar pedas terhadap kata secukupnya yang ia tulis. Jujur dalam hati aku menggerutu, sebagai seorang yang sedikit-sedikit pernah belajar kuliner aku tidak terima. Kan untuk masalah lidah, setiap orang punya selera yang bermacam-macam. Wong iki piye toh -_-

Jadi kalau dikira aku ini 0 soal masak memasak, sebenarnya salah juga. Begini-begini pernah punya pengalaman juga. Kalau sekedar tumis-menumis, goreng-menggoreng, dan gak pake ribet, siapa takut? Kalau ditanya : “Apa nggak ditegur sama orang tua?” Wah, jangan salah. Orang tuaku ini akan langsung menegur terang-terangan kala seorang anak perempuan satu-satunya ini enggan muncul di dapur. 100 kali ditegur, ya 100 kali pula aku mencari alasan, haha. Terutama Ibu, banyak sekali petuah yang diberikan. Sudah usia sekian lah, ini lah, sampai menakut-nakuti kalau nanti sudah menjadi istri. Ah Ibu, apapun itu terima kasih ya, buk. Kalau Ayah beda lagi, meskipun tidak secerewet Ibu, tetap saja membuatku speachless. “Belajar masak kono lho, cek pinter masak”. Belajar masak sana loh, biar pinter masak. Satu kalimat yang diucapkan Ayah ini, terdengar santai, tidak terkesan menyuruh bahkan teramat bijak. Namun bagiku, teramat menohok. Pernah pula waktu berjalan di mall bersama seorang sahabat pria, kami menjumpai seorang ibu muda yang menggendong bayi lucu. Dan tiba-tiba dia berkata : “Tuh liat, kamu gak pengen jadi mamah muda kayak gitu?” Hmm makjleb rasanya, aku hanya nyengir tanpa berbicara sepatah kata. Kamu tahu yang tiba-tiba aku pikirkan saat itu? Disatu sisi tentu saja aku punya keinginan menikah muda. Perempuan mana sih yang tidak mau punya bayi lucu disaat usianya masih 20-an? Namun disisi lain ada saja hal-hal yang ditakutkan, seperti : “Gimana kalo nikah, wong belajar masak saja enggan? Hehe.

Itu hanya pergulatan batin saja sih. Seperti kata pepatah “When it’s time, it’s time”. Aku percaya nanti bakal ada waktunya sendiri. Dan biasanya, orang akan menjadi kreatif kala terdesak. Aku juga percaya kalau sudah ada tekad, gak perlu waktu lama buat belajar nanti juga bakal bisa sendiri kalo sudah terbiasa. Untuk itu, dalam hati aku juga berdoa semoga diberi jodoh yang jago masak, Amin. Heheh.

Kommentare