Pagi
itu matahari bersinar begitu terik. Namun hal itu tak serta merta membangkitkan
semangat Rania. Dengan membawa map putih yang bukan miliknya ia setengah
berlari menuju kampus, sambil sesekali melirik jam tangan. Dalam hati ia
merutuki dirinya sendiri, atas kecerobohan waktu yang ia lakukan pagi ini.
Terlepas karena ia tahu akan terlambat sampai kelas, ia tahu pula harapannya
bertemu dengan seseorang akan menjadi hal yang mustahil.
“Padahal
hari ini ulang tahunku sendiri, harusnya bersemangat tapi malah berantakan.
Awal yang buruk.” Ia menggerutu dalam hati.
Sampai
di kelas, sepasang matanya berkeliling ke penjuru kelas demi satu bangku yang
strategis. Yap, ia mendapatkannya. Bangku cokelat di sudut ruangan yang tak
hanya samar-samar suara dosen terdengar, namun juga tak begitu jelas ketika ada
yang menulis di papan tulis. Ia membiarkan saja ketika dosen pengampu mata
kuliah Linguistik memarahinya karena terlambat. Baginya, sekadar menulis nama
di lembar presensi pagi ini cukup menjadi hadiah di usianya yang ke-22-setelah
berminggu-minggu tak menampakkan diri. Sudah, itu saja. Tidak lebih.
Sembari
mematikan alarm di ponsel miliknya, ia melihat ada satu pesan masuk.
07.58 AM – Sore
:
Ran, telat lagi kan?
Duh apa aku bilang, gausah gaya pake begadang segala!
Sekarang 20 Mei kan ?
Btw, happy b-day ya!
Satu
pesan itu-meski sangat singkat, sukses membuatnya tersenyum. Satu-satunya hal
yang dapat membangkitkan semangatnya di tengah hari sialnya, setelah beberapa
peristiwa terjadi di luar kendali.
Sore,
lelaki seumurannya yang telah ia anggap lebih dari teman spesial itu memang
selalu tahu bagaimana Rania. Ia tahu Rania lebih dari seorang saudara kandung. Namun
hal tersebut tak berlaku sebaliknya. 7 tahun pertemanan tak lantas membuat
seorang Sore terbuka kepada Rania. Entah apa alasannya, ia seakan memberi batas
tentang apa-apa yang Rania ingin tahu tentangnya. Namun tak peduli dengan itu
semua. Bagi perempuan dengan rambut berkuncir kuda ini, berada didekatnya
setiap waktu sudah lebih dari cukup. Tak mau tahu tentang bagaimana hubungan
mereka esok hari, dihatinya hanya ada satu nama : Sore.
---------------------
Mata
kuliah belum sepenuhnya berakhir, sambil meremas selembar kertas ia berlari
keluar menuju kamar mandi. Teriakan teman-temannya tak ia hiraukan. Agaknya, tiga
minggu tak muncul cukup membuat teman-temannya penasaran. Namun baginya, hal
itu sangat tidak menarik.
Sampai
di kamar mandi ia mengeluarkan ponsel berwarna oranye dan mengetikkan satu nama
dalam menu panggilan : Sore.
“Re
!” Sapanya dengan nada antusias.
“Halo
Ran ! aku nungguin kamu di tempat biasa tau nggak. Berkasku beneran kamu bawa
kan? Duh jangan sampe ilang ya. Jangan sampe dilupain, itu penting. Ntar pulang
kampus tunggu di tempat biasa ya, kita rayain ulang tahun kamu. Sekalian ada
yang mau aku ceritain.” Dari seberang, ia mendengar suara Sore tak kalah
antusiasnya.
Rania
diam, namun bibirnya mengukir senyum. Ia tak menjawab. Namun dalam hati, ia
berlonjak girang.
------------------
17.05
Hari
ini Rania memang sengaja mengosongkan jadwal usai kuliah hanya untuk bertemu dengan
Sore. Di hari spesialnya ini, ia ingin bercerita tentang apa saja kepada
sahabatnya itu. Tentang keterlambatan, tentang hari sialnya, tentang hari
pertama masuk kuliah setelah beberapa minggu absen, dan mungkin, tentang
perasaannya.
“Ran
!” Teriak Sore sambil melambaikan tangan kearah Rania.
“Re
! Sorry ya nunggu lama.” Rania menimpali sambil berlari kecil menghampiri Sore.
Tanpa
disuruh, Rania melempar map putih yang sejak pagi dibawanya ke arah Sore.
Mereka berjalan pelan menuju sebuah café yang berada di sepanjang jalan antara kampus
dan asrama. Sore itu jalanan nampak sepi, jalanan setapak dengan luas tak lebih
dari satu setengah meter itu terasa begitu luas. Permukaan yang tak rata
sesekali membuat Rania hampir terjatuh. Jalanan itu memang bukan satu-satunya
akses dari asrama menuju kampus, namun entah kenapa setiap pagi dan sore mereka
selalu melewatinya tanpa ada keinginan untuk mencoba jalan lain yang lebih
layak. Mereka bahkan hafal toko dan kedai apa saja yang berada di kanan kiri
jalan, serta pohon jati yang daunnya selalu jatuh di sepanjang jalan.
Sore
tahu segala hal tentang Rania, kecuali satu: jalanan ini. Rania benci untuk
melewatinya. Ia was-was kalau-kalau ada daun jati yang jatuh mengenai
rambutnya. Bukan apa-apa, ia hanya takut jika ada ulat yang menempel di
rambutnya. Ingin ia mengungkapkan, namun selalu ditahannya. Terlepas dari
ketidaksukaannya itu, ada satu hal yang masih menarik hatinya ketika
melewatinya setiap sore. Matahari yang condong ke barat, sinarnya membentuk
garis-garis warna yang cantik. Dominasi warna jingga yang ia lihat melalui
celah-celah daun pohon jati selalu mampu membuatnya melamun. Membayangkan
segala hal.
“Lihat
jalannya, jangan lihat keatas. Ada ulat jatuh tau rasa loh.” Sore berkata datar dan meletakkan sebuah
sketsa di atas kepala Rania, sontak membuat lamunannya buyar.
Rania terdiam, heran
dengan apa yang baru saja dikatakan Sore. Lalu berkata :
“Udah
tahu banyak ulatnya, kenapa kita mesti lewat sini tiap hari?”
“Kan
sudah aku kasih sesuatu diatas kepalamu, jadi nggak mungkin ada ulat yang
nempel.” Jawab Sore.
Dengan
sedikit kesal, ia mencoba membangun suasana : “Ciyeee sketsa baru ya? Gambarin
wajahku dong.”
Rania
menyenggol lengan Sore dan membuat sketsa diatas kepalanya terjatuh di tanah,
dalam posisi terbuka karena hembusan angin, membuat beberapa lembar kertas
putih itu berhamburan.
“Eh
maaf Re.” Dengan raut menyesal ia segera memunguti lembaran sketsa yang
tercecer di jalan.
“Biar
aku aja Ran.” Saut Sore dan dengan sigap melakukan hal yang sama.
Sketsa
itu memang baru, yang seharusnya semua lembarnya masih putih bersih. Namun
Rania terbelalak ketika mendapati ada satu lembar yang sudah tergambar wajah seorang
perempuan. Mereka berdua diam sesaat, berpikir. Dalam benaknya, Rania menelisik
siapa kira-kira sosok perempuan berambut panjang dan berkaca mata itu. Dibandingkan
dengannya, sangat berbeda.
Kemudian
ia bertanya : “Siapa Re?”
Tanpa
menunggu, Sore mengambil dengan cepat lembar sketsa yang berada di tangan
Rania. Dan tanpa sepatah kata pun, ia memasukkannya kedalam ransel yang berada
tak jauh dari tempatnya.
Rania tercekat, ia
melihat Sore dengan perasaan yang tak pasti. Dadanya bergemuruh, hendak
mengulangi pertanyaannya dan meminta penjelasan mengenai perempuan tadi. Namun
seperti biasanya, hal itu ditahannya. Ia diam seribu bahasa tak tahu hendak
berkata apa. Di dalam hatinya, bersarang perasaan aneh yang berusaha
ditahannya. Marah, merasa dibohongi, penasaran, ah semuanya terlalu rumit untuk
dirasa satu persatu. Matanya sembab, terganjal bulir air yang hendak keluar.
Namun Rania tak mau sedikitpun menampakkannya. Ia berusaha mengendalikan
dirinya sendiri sebelum akhirnya ia berusaha mengendalikan suasana.
Sore masih tetap diam. Berjalan pelan
beriringan. Ia mungkin tahu bagaimana perasaan Rania, bagaimana rasa cemburu
kini telah mengambil alih sebagian darinya. Dan dibalik ke-diam-an Sore itu,
Rania menyadari satu hal: akan ada satu hati yang terluka dalam hubungan tiga
hati. Ibarat pohon jati, akan selalu ada daun yang gugur dan berlubang
termakan ulat.
Kommentare
Kommentar veröffentlichen